Sebelum menjadi film, "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini" merupakan sebuah novel karya seorang wanita muda, Marchella Febritrisia Putri. Novel ini kemudian diadaptasi dengan judul yang sama menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Film yang berhasil menjadi film Indonesia pertama yang telah tembus 2 juta penonton pada tahun 2020 ini meraih berbagai penghargaan, seperti Maya Award for Best Camera System, Indonesian Movie Actors Award for Best Supporting Actor, dan Indonesian Movie Actors Award for Favorite Newcomer Actor/Actress. Sederet aktor dan aktris hebat didapuk sebagai pemeran utama film ini, di antaranya Rachel Amanda sebagai Awan, Sheila Dara sebagai Aurora, Rio Dewanto sebagai Angkasa, juga Donny Damara dan Sunan Bachtiar sebagai Narendra dan Ajeng (orang tua dari Awan, Aurora, dan Angkasa).
Film berdurasi 121 menit ini bercerita mengenai kisah dari sebuah keluarga. Keluarga tersebut berisikan lima orang, yaitu sepasang orang tua dan tiga orang anak bernama Angkasa (anak sulung), Aurora (anak tengah), dan Awan (anak bungsu). Film "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini" diawali dengan kilas balik saat sang Ajeng sedang menuju rumah sakit untuk menjalani persalinan. Kemudian, anak yang berhasil dilahirkan dengan selamat itu diberi nama Awan. Karakter Awan digambarkan sebagai karakter yang selalu dinomor satukan oleh ayahnya, Narendra. Dari Awan kecil sampai dewasa, sang ayah tidak pernah sekalipun menyalahkan Awan. Dia selalu menyalahkan Angkasa karena tidak bisa menjaga adiknya.
Favoritisme Narendra tidak selamanya menyenangkan bagi Awan karena ayahnya menjadi overprotective yang lama-kelamaan terkesan mengekang. Akibat sudah jenuh, Awan memaksa Angkasa untuk boleh ikut datang ke konser yang diadakan Angkasa. Di sana, Awan bertemu dengan Kale. Pertemuan Awan dengan Kale tidak hanya sampai di batas perkenalan diri saja tapi keduanya menjadi dekat sebab sering kali jalan bersama. Kedekatan mereka tentu tidak disukai oleh Narendra, karena Awan jadi selalu pulang malam. Narendra yang sudah emosi kemudian mengumpulkan anak-anaknya untuk memarahi mereka. Namun, tidak hanya Narendra, Angkasa juga terlanjur emosi sampai ia mengungkapkan sebuah rahasia yang sudah ditahannya selama 21 tahun.
Akibat dari favoritisme Narendra dan sekarang ditambah dengan rahasia yang diungkapkan Angkasa, keluarga ini semakin terpecah. Mulai dari Angkasa dan Awan yang tidak pulang ke rumah, sampai Aurora yang berniat untuk pergi meninggalkan rumah untuk jangka waktu yang panjang. Perpecahan keluarganya ini tentu membuat Ajeng selaku ibu dari ketiga anaknya dan istri dari Narendra sedih. Oleh sebab itu, Ajeng berusaha untuk mengobrol dan membujuk anak-anaknya agar mau kembali pulang ke rumah dan saling memaafkan agar dapat memulai lembaran hidup yang baru.
Menurut saya, tokoh yang paling menarik pada film ini adalah sang ayah atau Narendra dan Awan. Saya katakan menarik karena mungkin bagi beberapa orang, karakter Narendra terkesan terlalu mengendalikan dan memanjakan Awan tapi karakter Awan sendiri justru tidak sopan karena melawan orang tuanya. Oleh sebab itu, saya akan melakukan analisis terhadap dua tokoh di atas. Analisis akan menggunakan teori kritik sastra pragmatik. Menurut Wahyudi dalam (Tri Gumono, Abednego, 2017) pendekatan pragmatik merupakan pendekatan kajian sastra yang memiliki peran utamanya kepada pembaca dalam menerima, menghayati, dan memahami karya sastra.
Masalah-masalah seperti selalu disalahkan, kerja keras yang tidak pernah dihargai, merasa terlalu dikendalikan, dan tidak pernah memutuskan keputusannya sendiri menjadi sedikit dari banyak permasalahan yang kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan menjadi permasalahan yang kita alami sendiri. Pada film, karakter sang ayah atau Narendra digambarkan seperti sosok yang menjadi pelaku atas permasalahan-permasalahan yang sudah saya sebutkan di awal paragraf. Narendra yang selalu menganggap anak-anaknya masih seperti anak kecil, merasa benar, dan overprotective melahirkan sikap anak-anaknya yang menganggap ia selalu ingin menang sendiri. Overprotective adalah sikap yang terlalu melindungi karena khawatir terhadap risiko dan bahaya yang dialami anaknya. Namun, bagi Narendra sendiri, tidak pernah terbesit sekalipun niat untuk mengekang anaknya. Dibuktikan dari ucapannya sebagai berikut. "Tak pernah terbesit di hati ayah, untuk mengekang kau, kau, dan kau. Ini semata-mata karena ayah takut kehilangan kalian. Anak-anak ayah."
Perkataan Narendra bukan semata-mata asal diucapkan. Perkataannya ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya di masa lalu. Pengalaman yang ternyata berkaitan dengan rahasia yang diungkapkan Angkasa. Setelah mengetahui rahasia keluarga ini, sebagai seorang ayah, sifat Narendra termasuk wajar karena dia hanya ingin melindungi dan membuat anak-anaknya bahagia. Tidak jarang, orang tua juga akan melakukan hal yang sama jika kejadian traumatis menghantuinya. Rasa takut akan kehilangan untuk kedua kalinya pasti terus berputar dibenaknya. Sayangnya, cara yang digunakan Narendra untuk melindungi dan membuat anak-anaknya bahagia kurang tepat, sehingga disalahartikan oleh anak-anaknya. Walau terkesan overprotective, saya rasa kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Narendra.
Di sisi lain, Awan yang sedari kecil diberi perhatian penuh oleh kedua orang tuanya, terutama ayahnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak pernah merasakan kebebasan. Hal ini terlihat dari Awan yang tidak pernah membuat keputusannya sendiri dan semua pekerjaan yang ia lakukan, dikerjakan bersama dengan keluarganya. Bagi Awan, sifat ayahnya yang selalu memberi perhatian penuh kepadanya ini tidak membawa kerugian, karena itu, Awan hanya bisa patuh. Sampai suatu saat, Awan mendapati fakta bahwa dipanggilnya kembali ia di kantor impiannya bukan berasal dari kerja kerasnya sendiri, melainkan karena relasi ayahnya. Di saat itu Awan merasa malu. Hal ini dibuktikan dari ucapan Awan sebagai berikut.
"Ayah membuat Awan malu! Awan tidak pernah minta ayah memanfaatkan nasabah ayah untuk pekerjaan di firma Anton Irianto! Ayah, sekarang semua tahu Awan dapat pekerjaan bukan karena kemampuan, tapi karena koneksi ayah!"
Perkataan Awan di atas mungkin terkesan tidak tahu berterima kasih. Lebih lagi Awan mengucapkannya dengan nada tinggi yang membuatnya terlihat seperti anak kurang ajar karena membentak ayahnya sendiri. Namun, jika kita telusuri karakter Awan lebih dalam, kita akan mengerti sikapnya. Sebetulnya, Awan hanya ingin memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri dan juga pilihannya. Lalu, Awan juga ingin merasakan bangkit sendiri setelah sebuah kegagalan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Awan sebagai berikut.
"Aku memang anak bungsu, tapi aku ingin seperti kakak-kakak, yang bisa kerja dengan hasil jerih payah sendiri. Bangga dengan diri sendiri. Aku ingin! Yah, orang pertama yang bisa menolong Awan, itu hanya Awan sendiri. Bukan orang lain. Biarpun itu ayah. Aku yang harus berjuang sendiri."