Pada akhir bulan Oktober 2023, Anies Baswedan mengungkapkan ingin menargetkan penambahan kosakata Bahasa Indonesia menjadi 250.000 dalam waktu lima tahun ke depan. Badan Bahasa Kemendikbud merespons pernyataan Anies Baswedan. Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek, Abdul Khak, mengatakan bahwa apa yang ditargetkan Anies sudah lama menjadi target Badan Bahasa untuk menambah jumlah kosakata KBBI menjadi 200.000 di akhir tahun 2024. Indonesia baru memiliki 110.000 kosakata. Jumlah tersebut masih kalah dengan negara lain, seperti bahasa Inggris ada 750.000 kosakata dan bahasa Arab ada 12 juta kosakata. Penambahan ribuan kosakata bertujuan agar bahasa Indonesia kian dikenal di tingkat global. Pernyataan ini menarik karena menyentuh pada isu penting terkait perkembangan Bahasa Indonesia di tengah pengaruh bahasa asing yang semakin kuat.
Iklan produk sering kali mengadopsi kosakata asing untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan kepada audiens. Sering kali juga bertujuan untuk menciptakan kesan modern, eksklusif, atau mewah. Banyak iklan yang menggunakan istilah-istilah berbahasa asing untuk menarik perhatian konsumen atau membangun identitas suatu produk. Kondisi ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperkenalkan kosakata baru yang sesuai dengan konteks lokal dan budaya Indonesia. Dalam konteks ini, penambahan kosakata baru dalam bahasa Indonesia bisa menjadi upaya untuk menanggapi perubahan ini, sekaligus menjaga agar bahasa Indonesia tetap berkembang dan relevan dalam dunia yang semakin global. Dengan penambahan kosakata baru yang relevan, diharapkan masyarakat dapat lebih mudah memahami dan menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks iklan
Kita dapat menganalisis fenomena penggunaan bahasa asing dalam iklan dengan gagasan yang dikemukakan oleh Ferdinand de Sasussure. Saussure menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari penanda (signifer) dan petanda (signifed). Penanda adalah bentuk dari tanda, seperti kata, gambar, atau simbol, sedangkan petanda adalah makna yang diwakili oleh penanda. Dalam konteks iklan, penggunaan kosakata asing berfungsi sebagai penanda yang menciptakan makna tertentu. Kata-kata tersebut tidak hanya berfungsi sebagai simbol produk, tetapi juga sebagai simbol status atau gaya hidup yang ingin dijual kepada konsumen. Misalnya, kata “luxury” dalam iklan pakaian tidak hanya merujuk pada kualitas produk, tetapi juga pada citra kehidupan mewah yang diinginkan oleh konsumen.
Semiotika, sebagai studi tentang tanda dan simbol serta penggunaannya dalam komunikasi, menunjukkan bahwa setiap kata memiliki makna tertentu yang dapat mempengaruhi persepsi audiens. Ketika sebuah iklan menggunakan kata-kata baru yang telah ditambahkan ke dalam kosakata Bahasa Indonesia, hal itu tidak hanya memberikan alternatif bagi istilah asing tetapi juga menciptakan identitas baru bagi produk tersebut. Misalnya, jika sebuah produk makanan menggunakan istilah “segar” daripada “fresh”, maka makna yang dibawa akan lebih dekat dengan pengalaman lokal konsumen. Ini menunjukkan bahwa pemilihan kata sangat penting dalam menciptakan hubungan emosional antara produk dan konsumen. Dengan menerapkan teori semiotika, kita bisa melihat bagaimana perubahan kecil dalam pilihan kata dapat membawa dampak terhadap cara kita memahami dan merespons pesan-pesan pemasaran.
Penambahan kosakata baru dalam Bahasa Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Anies Baswedan merupakan langkah positif menuju revitalisasi bahasa Indonesia. Selain itu, langkah strategis ini dapat memperkuat identitas budaya sekaligus memberikan alternatif bagi penggunaan bahasa asing dalam iklan produk. Dengan memperkaya kosakata, diharapkan masyarakat dapat lebih mengenali dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, serta mengurangi ketergantungan pada istilah asing yang sering kali tidak memiliki padanan tepat. Selain itu, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk terus melakukan sosialisasi mengenai penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Namun demikian, tantangan mengenai bahasa tetap ada. Penggunaan bahasa dalam iklan dan media massa perlu diperhatikan agar tidak menggeser identitas budaya kita. Melalui pendekatan semiotika, kita dapat memahami bahwa setiap kata memiliki makna sosial yang mendalam. Oleh karena itu, revitalisasi bahasa bukan hanya sekadar penambahan kosakata baru tetapi juga upaya untuk menjaga keberlangsungan identitas budaya bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H