Perubahan cuaca yang cukup ekstrem terjadi selama bulan Mei lalu. Dimulai dari cuaca panas pada minggu pertama yang berada di kisaran 33--36 derajat Celcius, yang terus berlanjut hingga minggu ketiga. Kemudian pada minggu keempat, hujan mulai turun kembali pada waktu-waktu tertentu. Hingga saat ini pun, cuaca masih tidak menentu. Tidak ada yang menjamin besok akan terang benderang hanya karena hari ini hujan tidak turun.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), cuaca panas biasanya disebabkan oleh gelombang panas (heat wave). Namun dikutip dari Antara, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menjelaskan bahwa fenomena heat wave biasanya terjadi di wilayah lintang menengah hingga tinggi, seperti Eropa dan Amerika, karena kondisi dinamika atmosfer di wilayah tersebut yang kurang stabil.
Melanjuti, dijelaskan bahwa cuaca panas yang sempat terjadi di Indonesia awal Mei lalu masih termasuk dalam skala variabilitas harian. Menurutnya, cuaca panas yang cukup esktrem tersebut merupakan tanda masuknya musim kemarau, di mana posisi semu matahari yang berada di wilayah utara ekuator menyebabkan pertumbuhan awan dan fenomena hujan akan sangat berkurang sehingga cuaca cerah lebih mendominasi.
Namun nyatanya, hujan turun pada minggu ketiga Mei. Pun di hari-hari dan minggu-minggu berikutnya. Musim kemarau belum benar-benar hadir di bumi Indonesia.
Fenomena ini lebih sesuai disebut sebagai perubahan iklim, yang memang sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan.
Direktur Eksekutif Organisasi Lingkungan WALHI Jawa Barat, Meiki Wemly Paendong menjelaskan fenomena perubahan iklim yang terjadi di Indonesia serta bagaimana pandangan masyarakat terhadap fenomena tersebut.
Menurut Meiki, perubahan iklim berangkat dari pemanasan global. Pemanasan global sendiri sebenarnya adalah sesuatu yang pasti terjadi, sebagaimana bumi terus bertambah usia sebagai entitas yang tidak kekal.
Namun kini pemanasan global dipercepat oleh aktivitas manusia. Meiki menyebutkan, revolusi industri menjadi titik mula pemanasan global yang kian parah setiap harinya. Kehadiran teknologi dengan sumber energi fosil menghasilkan emisi karbon yang kemudian menumpuk di atmosfer. Lapisan atmosfer tidak mampu memantulkan panas ke luar angkasa, alhasil panas mengumpul di sana dan menghasilkan gelombang panas yang menyebabkan suhu bumi naik.
Sampai di era digitalisasi kini, tidak bisa dipungkiri kalau manusia masih belum mampu mengatasi pemanasan global yang terjadi. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh tingkat kepedulian masyarakat yang masih rendah.
"Masyarakat memang tidak pernah menyangkal perubahan iklim, namun pemahaman untuk mendalami perubahan iklim tersebut yang masih rendah," ujar Meiki dalam Talkshow yang diadakan Parade Jurnalistik pada Selasa (17/5) lalu.