Lihat ke Halaman Asli

Lydia Monica Stefany

Mahasiswa IPB University Jurusan Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Strategi Digitalisasi Keuangan dan Perbankan Syariah di Masa Pandemi Covid-19

Diperbarui: 23 Maret 2022   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Visi Indonesia Maju mengalami tantangan yang cukup berat di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Untuk itu, dibutuhkan transformasi ekonomi yang mampu menggerakkan seluruh sektor dan melibatkan seluruh masyarakat, salah satunya melalui digitalisasi ekonomi dan keuangan syariah.

Dengan berkembang pesatnya teknologi digital saat ini ditandai dengan revolusi industri 4.0 di mana industri berkembang dan memanfaatkan teknologi untuk membantu mempermudah operasionalnya. Pengembangan sektor industri digital dalam aktivitasnya terutama diprakarsai oleh perusahaan e-commerce, start-up Financial Technology (fintech) baik itu peer-to-peer lending ataupun crowd funding.

Sampai dengan 6 Oktober 2021, total jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK adalah sebanyak 106 penyelenggara. Sesuai dengan surat keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK, jumlah penyelenggara fintech lending berizin menjadi 98 (sembilan puluh delapan) penyelenggara.

Digitalisasi yang tepat pada sektor perbankan dan keuangan syariah merupakan satu keharusan. Hal ini akan mengarah pada pencapaian pertumbuhan pangsa pasar keuangan syariah yang ditargetkan sebesar 20%, sedangkan angka yang dicapai hanya 9,9% (OJK, 2021) dari total pangsa pasar perbankan dan keuangan nasional. Kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh tingkat inklusi keuangan syariah yang masih lemah, sekitar 9,1% pada tahun 2020. Capaian ini masih jauh tertinggal dari angka inklusi keuangan nasional sebesar 76,10%. Hal ini sebanding dengan indeks literasi keuangan syariah yang juga rendah, yakni hanya sebesar 8,93% dari indeks literasi nasional yaitu 38,03% (OJK, 2020).

Pertumbuhan ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi perusahaan keuangan syariah untuk segera beralih ke layanan digital. Indonesia akan menjadi negara yang paling lama mengadopsi e-commerce selama dan setelah pandemi, dan UMKM sangat penting dalam penggunaan e-commerce. Seperti yang kita ketahui, saat ini potensi pengembangan industri keuangan syariah berbasis fintech atau perusahaan fintech di Indonesia teknologi cukup terbuka dan potensial.

“Digitalisasi berperan signifikan, di antaranya dalam menahan laju penurunan kinerja penjualan produk industri halal, mempercepat mekanisme audit online dalam pengajuan sertifikasi halal, mendorong peningkatan keuangan sosial syariah terutama dalam hal pembayaran ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf) secara online oleh masyarakat,” ujar Wakil Presiden  K.H. Ma’ruf Amin pada Webinar Ekonomi Syariah, Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Dipenogoro (UNDIP) melalui konferensi video di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Rabu (28/04/2021).

Bapak Wakil Presiden  K.H. Ma’ruf Amin juga menjelaskan mengenai peluang digitalisasi ekonomi dan keuangan syariah yang dapat dilakukan sesuai mandat Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Pertama, pengembangan industri halal dari hulu ke hilir melalui pemanfaatan Big Data, kecerdasan artifisial, maupun block chain. Kedua, pengembangan layanan keuangan digital di sektor perbankan syariah, termasuk Bank Wakaf Mikro, Baitul Maal Wa Tamwiil, dan koperasi syariah. Ketiga, keuangan sosial syariah, terutama transformasi pengelolaan zakat dan wakaf uang dengan memanfaatkan teknologi digital. Keempat, peningkatan kolaborasi antara e-commerce marketplace dengan pelaku usaha syariah dan pusat-pusat inkubasi syariah.

Di sisi lain, menurut Bapak K.H Ma’ruf Amin, untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah, perguruan tinggi dan akademisi dapat berperan dalam penguatan kelembagaan sebagai center of excellence (pusat keunggulan) di bidang ilmu ekonomi dan keuangan Islam serta pengembangan dan implementasi riset dan edukasi ekonomi syariah di berbagai lini.

Perbankan merupakan salah satu industri yang perlu berubah seiring berjalannya waktu, bukan hanya karena faktor pandemi, tetapi juga karena faktor persaingan (kompetitor) yang terus berupaya untuk menjadi yang terbaik. Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah dengan melakukan inovasi layanan perbankan. Mengacu pada siaran pers Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agustus 2021, nilai transaksi digital banking per Juli 2021 naik 53,08% (YoY). Dengan adanya produk perbankan syariah yang dapat di akses melalu aplikasi, tentunya akan sangat mempermudah para penggunanya.

Setidaknya terdapat empat strategi yang dapat diterapkan oleh perbankan syariah di Indonesia. Pertama, target konsumen yang lebih responsif. Hingga saat ini, strategi model bisnis bank syariah cenderung unik. Sumber daya yang terbatas sehingga hal itu menyebabkan perbankan syariah yang kurang berkembang. Bank syariah dapat mengadopsi model challenger fintech perbankan yang fokus pada segmen tertentu yang belum terlayani oleh bank secara keseluruhan. Segmen layanan pembayaran dapat menjadi celah dan dijadikan perkolaborasian dengan pelaku yang sudah terbiasa dengan pembayaran digital, baik payment gateway maupun aplikasi point of sale (POS). Kedua pelaku ini merupakan pihak yang memiliki banyak data transaksi konsumen.

Kedua, mengoptimalkan ekosistem ekonomi syariah. Pendekatan ekosistem dapat ditempuh dengan ekosistem proprietary sebagai basis konsumen potensial, baik dari sisi pendanaan, potensi transaksi dan data pembayaran, serta penyaluran pendanaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline