Lihat ke Halaman Asli

Rona Perbankan Nasional Tanpa "Gincu"

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laju perbankan bila dibentangkan tanpak beberapa rona penuh pesona namun bila prestasi seperti laba tidak kita jadikan "gincu"justru  yang nampak  perbankan dalam rona yang cukup ber-potensi melahirkan permasalahan cukup pelik.

Bahkan berbagai regulasi yangberlimpah dalam mengelola industri perbankan,yang telah diterbitkan tak mampu menutup semua celah dan mendeteksi bara dalam industri finansial kita. Aturan yang gendut yang sebenarnya bermuara pada perlindungan industri ini menjadikan perbankan sebagai most heavily regulated industries.

Namun nyatanya, wajah industri ini masih penuh jelaga permasalahan yang ber’mata air’ dari kurangnya pengawasan. Sehingga persoalan lemahnya pembinaan dan pengawasan menjadi wajah asli bank sentral kita.

Rasa was-was yang hinggap terhadap industri perbankan kita seakan bertambah tebal ketika teropong kita arahkan terhadap kinerjanya. Pada tahun 2010, lahapnya pihak perbankan terhadap dana masarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) yang membiak hingga 29 persen, ternyata tidak dibarengi dengan giatnya mereka mengucurkan kredit yang hanya tumbuh 22 persen.

Kehati-hatian dalam mengucurkan kredit dapatlah dijadikan alibi, tetapi ketika kita mencatat laba yang diraup pada tahun kemarin tentu sulit untuk menyembunyikan keter-pukauan. Pertumbuhan kredit tidak-begitu subur tetapi keuntungan semakin menjulang.

Pada 2010, total lumbung laba perbankan Indonesiaberhasil memperoleh untungbersih sebesar Rp57,309 triliun. Ini meningkat sekitar 26,75 persen dari laba bersih 2009 yang mencapai Rp 45,215 triliun.

Sedangkanpendapatan operasional perbankan 2010 mencapai Rp350,873 triliun atau meningkat 17,67 persen dari pendapatan operasional 2009 yang sebesar Rp298,18 triliun.
Profit perbankan tersebut merata dinikmati hampir semua bank termasuk milik pemerintah atau persero yang mencapaiRp22,766 triliun atau meningkat 26,13 persen dari 2009 yang sebesar Rp18,05 triliun.

Sebagai contoh di BRI, perbankan yang paling “ramah” terhadap nasabah kecil keuntungan yang diperoleh semakin berkibar, jika pada 2009 mem-bukukan profit Rp 7,308 Triliun, tahun 2010 meroket menjadi Rp 11, 475 Triliun atau naik 57 persen.

Bila cermin ini yang kita tatap,lambat laun laju BI semakin jauh dari fungsi utamanya bahkan kuyu-nya wajah perbankan kita semakin benderang ketika saat ini bank sentral tetap men-sakralkan BI rate pada level 6,5 persen.

Posisi ini setidaknya telah bertahan beberapa saat tanpa koreksi. Hingga yang terjadi tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional cukup timpang. Angka BI rate tersebut tidak mampu mendorong bunga kredit perbankan lebih ramah terhadap sektor riil. Bahkan pada tahun 2009 kemarin dengan BI rate sakral di angka 6,5 persen. Target kredit perbankan nasional tersungkur cukup dalam.

Selain itu kran kredit dari industri finasial ini tidak merata, beberapa bank tampak royal dalam menyalurkan kreditnya, tetapi tidak sedikit yang masih pelit membuka kran-kran kreditnya.

Meski berbagai regulasi dilahirkan guna mendorong pertumbuhan kredit tetapi layunya kredit perbankan yang disebabkan masih cukup “jumbo’ nya BI rate tidak dapat disangkal.

Fakta ini tentu dengan jernih mengabarkan, bahwa BI rate yang kokoh pada 6,5 persen, masih sunyi bagi sektor riil. Jadi berbagai upaya BI untuk meng-genjot pertumbuhan kredit terasa sia-sia, jika BI rate masih disakralkan pada posisi 6,5 persen.

Asa Perbankan Nasional

Mengembalikan fungsi perbankan sebagai institusi intermediasi (intermediary institution) adalah ufuk harapan bagi sektor riil. Memang kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih , menjadi alibi enggannya pihakperbankan berlomba-lomba menyalurkan kreditnya. dimana bagi kalangan perbankan dunia usaha dianggap masih memiliki resiko yang tinggi.

Tetapi yang harus disadaribelum lajunya kreditperbankan, dapat menjadi rintangan bagi perekonomian Indonesia.

Bahkan ancaman terhadap rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi keniscayaan.

Karena memang tinggi-rendahnya kreditmenjadi tolok ukur aktifitas ekonomi di masyarakat, kredit yang lesu akan ber-episode pada pada berkurangnya jumlah lapangan kerja yang tersedia untuk angkatan kerja baru, padahal pertumbuhan jumlah angkatan kerja baru tidak dapat dibendung. Sehingga hal tersebut berlanjut pada kolosalnya angka pengganguran.

Jadi tampaklah menjaga pertumbuhan kredit merupakan kebijakan yang akan berdampak langsung terhadap penguatan dinding-dinding perekonomian.

Hingga kita berharap, BI rate yang rendah menjadi rute awal yang harus diambil bank sentral guna mengembalikan fungsi sejatinya.

Selama , sakralnya BI rate pada posisi 6,5 menjadi ruang nyaman bagi industri keuangan untuk membenamkan dananya pada Sertifikat bank Indonesia (SBI). Yakni surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) bagi perbankan lebih menguntungkan menginvestasikan dana pihak ketiga di sanaketimbang mengucurkan kredit ke masyarakat.

Wajah perbankan yang masih tersaput berbagai kasus-kasus, dari kendornya pengawasan hingga longgarnya penyelewengan semoga tidak disempurnakan dengan ke-engganan untuk terus merubah kinerja perbankan dengan lebih ramah terhadap pertumbuhan kredit. Sehingga cakrawala perbankan nasional kedepan dapat kita tatap dengan kepercayaan tinggi terhadap fungsi dan perannya dalam perekonomian nasioanl.



*L. Wiji Widodo, Pengamat Perbankan, Analis Ekonomi PT Mamberamo Alasmandiri-Papua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline