PERLINDUNGAN KORBAN PELECEHAN YANG DIALAMI SANTRIWATI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh: Luzumul Maharoh (Mahasiswa Hukum UNISSULA)
Sungguh ironis, dengan beredar berita bahwa seorang pemuka agama melecehkan santriwatinya sendiri. Padahal sosok pemuka agama sangat disegani dikalangan masyarakat beragama islam, namun justru malah sebaliknya yang seharusnya bisa dijadikan contoh malah menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap santrinya dengan dalih bahwa perbuatan tersebut adalah benar menurut hukum islam yang diyakininya, seorang santriwatipun bisa berbuat apa dengan kyai nya sendiri, seharusnyalah seorang kyai menjadi panutan untuk para satriwati di suatu lingkup pondok pesantren.
Jika melapor kepada kepolisian, terkadang justru polisi tidak bertindak gesit dalam mengambil tindakan atas pelaku pelecehan seksual tersebut. Banyak kasus seperti ini yang malah menjadikan korban takut untuk melapor sehingga berdampak dengan terganggu psikisnya korban itu sendiri.
Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan seksual. Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya
Di dalam Islam perempuan harus dimuliakan dan dijaga martabat dan kehormatannya. Islam mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kejahatan seksual. Allah SWT berfirman,
"Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi." (QS. An-Nur: 33).
Kapabilitas sistem Islam dalam melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam. Pada tahun 837 M, Al-Mu'tashim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu'tashim Billah, "di mana kau Mutashim... tolonglah aku!" Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Konsep-konsep terkait perlindungan dan jaminan terhadap perempuan dalam hak-hak dasar sebagai manusia dapat ditemukan dalam banyak literatur-literatur Islam. Islam melindungi perempuan dari pelecehan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti:
1. Penerapan aturan-aturan Islam yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan.
Misalnya, kewajiban menutup aurat (QS. An-Nur: 31), berjilbab ketika memasuki kehidupan publik (QS. Al-Ahzab: 59), larangan berhias berlebihan atau tabbaruj (QS. Al-A'raaf: 31 dan QS. Al-Ahzab: 33). Adanya pendampingan mahrom (kakek, ayah, saudara laki-laki dan adik ayah) atau suami ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam. Dari Abu Hurairoh RA, bahwa Nabi SAW bersabda,
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya." (HR.Muslim no.1339).
2. Penerapan aturan-aturan Islam terkait pergaulan laki-laki dan perempuan.
Misalnya, perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS. An-Nur: 31), larangan berduaan dan campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar'i. Rasulullah SAW bersabda,
"Seorang laki-laki tidak boleh berduaan (kholwat) dengan seorang perempuan kecuali wanita tersebut bersama mahramnya." (HR.Muslim)
3. Penerapan sanksi yang berat bagi pelaku pelecehan.
Misalnya, pelaku pemerkosaan akan dihukum had zina
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Jika pelakunya belum pernah menikah maka dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah dirajam hingga mati. (Q.S An-Nur:2)
4. Orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya atau pegawainya.
Selain itu, Islam juga melindungi perempuan dari kekerasan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti:
1.Perintah mempergauli istri secara ma'ruf dan larangan berbuat aniaya terhadap istri (QS. Al-Baqarah: 228-229 dan QS. An-Nisa: 19).
2.Penerapan sanksi bagi pelaku kekerasan, di antaranya pelaku akan dihukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta'zir maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik.
Selain melindungi perempuan dari pelecehan dan kekerasan, Islam menjamin kesejahteraan perempuan, melalui pelaksanaan aturan-aturan dan kebijakan seperti:
1.Kewajiban nafkah keluarga diberikan kepada pihak ayah, suami dan wali perempuan (kakek dari ayah, adik ayah, saudara laki-laki kandung dan keponakan laki-laki ayah). Negara akan menjamin dan membuka peluang besar bagi tersedianya lapangan pekerjaan dan memberikan modal usaha bagi pihak laki-laki agar dapat menunaikan kewajibannya.
2.Perempuan tidak diwajibkan bekerja. Perempuan boleh bekerja dengan izin suami/ayahnya dengan menjalankan syariat Islam ketika di kehidupan publik. Pekerjaan yang akan dijalankan perempuan bukanlah pekerjaan yang akan mengeksploitasi diri dan waktu perempuan sehingga peran domestik perempuan dapat dijalankan secara optimal.
3.Penerapan hukuman sanksi (ta'zir) bagi suami yang tidak menjalankan kewajiban penafkahan padahal ia memiliki kemampuan.
4.Negara akan mengambil alih peran keluarga dalam hal nafkah bila semua pihak yang bertanggung jawab dalam nafkah tidak mampu menjalankan perannya. Sehingga perempuan bukan tulang punggung keluarga apalagi ujung tombak perekonomian negara.
5.Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya tiga kebutuhan primer individu baik laki-laki maupun perempuan seperti pangan, papan, dan sandang. Jaminan terpenuhinya tiga kebutuhan primer masyarakat secara kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang akan disediakan secara langsung oleh negara secara cuma-cuma atau dengan biaya yang sangat minim.
Masya Allah, betapa sempurna Islam sebagai suatu sistem kehidupan. Tentunya jika Islam benar-benar diterapkan dalam kehidupan, perempuan akan terjaga dan terjamin keselamatannya. Insya Allah.
Peraturan akan kasus tersebut sudah tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. di dalam UU terkait, telah diatur pemberian hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual. apa yang dilakukan adalah kejahatan serius yang melebihi batas manusia. Namun di sisi lain hukuman mati tentu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Jadi hukuman mati pertama untuk kasus kekerasan seksual akan muncul pertimbangan yang menentukan berat atau ringannya hukuman terhadap terdakwa. Kejahatan yang dilakukan terhadap santriwatinya sendiri telah melewati batas kemanusiaan, sebuah kejahatan yang serius harus diberi hukuman yang serius pula agar memberikan efek jera. Tidak hanya bagi pelaku kejahatan tapi juga bagi masyarakat luas. Vonis hukuman mati untuk kasus pemerkosaan santriwati adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia bagi pelaku kekerasan seksual. saat hakim memutuskan sebuah kasus pidana, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Terutama yang menyangkut aspek korban, harus dilihat secara psikologis. Termasuk dengan masa depan yang akan dihadapi belasan korban. Ketika nanti ada kasus yang serupa, disparitas bisa saja terjadi. Maksudnya adalah hukuman yang diputuskan nantinya tidak akan selalu sama dengan kasus pemerkosaan berkaitan dengan santriwati tersebut.
Hal itu bisa saja terjadi karena kondisi dan situasi kasus yang mungkin berbeda pula. Begitupun jika mengajukan upaya banding yang tidak selalu menghasilkan hukuman yang ringan, tapi bisa juga menjadi lebih berat. Jadi pembelajaran dan edukasi bagi masyarakat Ketika mengajukan banding, bukan berarti hukuman pelaku pasti diringankan. Bahkan bisa jadi sebaliknya yakni diberikan hukuman yang lebih berat. peristiwa kelam dan hukuman mati bagi pemerkosa santri ini, menjadi pembelajaran dan edukasi bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan serius. Selain itu, peristiwa ini nyatanya juga berefek pada penurunan kepercayaan masyarakat kepada instansi pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren. Tentu perlu adanya pencegahan agar hal yang sama tidak terjadi. Baik di lingkungan pondok pesantren, sekolah, dan tempat umum. Negara juga harus mengambil peran signifikan untuk menjamin keamanan bagi seluruh masyarakatnya. Upaya monitoring yang harus dilakukan oleh orangtua, guru, dinas pendidikan hingga kementerian agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H