Berbicara ilmu sosial di Indonesia, kita akan menemukan jalan buntu. Dimana ilmu sosial bercorak keindonesiaan berada dalam situasi kemandekan hingga saat ini. Bukan tidak beralasan, dan tidak berlebihan pula kiranya mengatakan bahwa "kita" sangat bangga menjadi importir teori. Bahkan pada taraf akut, kita berbangga diri dengan cara-cara deskriptif teori ilmuan sosial A cocok dengan kondisi di kampung B atau realitas kampung B melenceng dari teori A. Sehingga itu menjadi salah satu alasan kemadekan keilmuan sosial Indonesia. Menyebabkan apa yang disebut dengan Zeitgest itu tidak berkembang.
Kondisi seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sangat lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Ilmu sosial yang ada di Indonesia terjebak dalam adopsi teoritis (pengadopsian teori), baik itu dari jerman, prancis, amerika dan negara-negara Eropa lain. Kondisi ini sagat memprihatinkan. Menujukkan ketidakberdayaan ilmuan sosial Indonesia menjelaskan realistas atau mengambil realitas berbasis lokalitas itu kemudian menariknya menjadi sebuah teori.
Dapat disebutkan, bahwa yang terjadi di ranah keilmuan sosial Indonesia adalah dependensi dalam istilah ekonomi. Dependensi Berdasarkan kepada pengertian Theotonio Dos Santos, suatu negara yang ekonominya tergantung kepada negara lain. Dimana sebuah negara dalam istilah tersebut hanya menerima akibat saja. Menarik istilah itu ke dalam ilmu sosial, Indonesia hanyalah menjadi objek sumber data untuk melakukan teoritisasi di kalangan akademisi Barat. Dan yang terjadi di kalangan akademisi Indonesia sendiri adalah mengenyampingkan lokalitas dan merujuk Barat untuk mengkaji lokalitas tersebut.
Akibatnya hingga dewasa ini, belum satu pun teori sosial bercorak keindonesiaan yang matang secara teoritis untuk mengkaji realitas masyarakat Indonesia itu sendiri. Meskipun ada para pendahulu seperti Selo Soemardjan,
Soedjatmoko, Kuntowijoyo yang mencoba mendobrak imprealisme akademis tersebut. Tapi tampaknya belum berhasil, sebagaimana ilmu sosial profetik yang digagas Kuntowijoyo masih mengundang segudang tanda tanya.
Mengutip kata-kata Dr. Selo Soemardjan, "Mengenai perkembangan ilmu sosial sebagai ilmu, betapa sedikitnya buku-buku atau karangan dalam bahasa Indonesia yang secara murni menambah atau mungkin mengubah teori yang sampai sekarang dikenal."
Sama halnya dengan Selo Soemardjan, Profesor Kuntowijoyo pun mengakui kemandekan ilmu sosial Indonesia. Jika kondisi ini terus berlanjut, jangankan untuk bicara kemajuan keilmuan sosial, justru sebaliknya adalah ilmu sosial berbasis keindonesiaan itu hanya menjadi sebuah narasi omong kosong. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah menjadi peniru yang membabi buta tanpa memiliki pijakan empiris yang kuat.
Dari paparan tersebut muncul pertanyaan, lalu apa yang perlu dilakukan?. Yang seharusnya terjadi adalah ilmuan sosial Indonesia keluar dari keterkungkungan dan ketidakberdayaan itu. Ilmuan sosial Indonesia harus mampu mencari diskursus alternatif yang membebaskan. Dalam sebuah artian, mampu mengkaji realitas masyarakat Indonesia itu secara komprehensif tanpa merujuk Barat. Dan sebuah fakta, bahwa yang selama ini berkembang adalah hegemoni barat terhadap ilmu sosial Indonesia.
Indonesia pada posisi itu sebatas menjadi objek untuk melahirkan teori. Sebagaimana yang terjadi pada masa kolonial. Dalam hal ini, Indonesia merayakan apa yang disebut partikularitas keilmuan sosial dan jauh dari universalitas. Padahal, Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki banyak keunikan, mencakup pluralism seharusnya mampu melahirkan suatu teori untuk mengkaji realitas masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam persfektif lain, bahwa kita adalah para "peniru" yang buruk karena tidak membarengi sikap meniru dengan sikap kritis terhadap teori yang dilahirkan oleh ilmuan Barat.
Jika melihat dengan lebih detail, kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat terhadap Indonesia, juga disebabkan oleh internal kaum intelektual Indonesia sendiri. Kaum intelektual Indonesia berusaha keras menerapkan, menjalankan teknik yang diajarkan oleh para sarjana Barat. Kaum intelektual Indonesia bekerja sekuat mungkin, menjelaskan persoalan empiris dengan kerangka teori yang dikeluarkan sarjana barat. Sebagai contoh, di bangku perkuliahan jika membicarakan kapitalisme akan diajak kepada pemikiran Karl Marx, bicara struktural fungsional akan dibawa kepada pemikiran Talcott Parson, tentang legitimasi dan birokrasi akan membicarakan Weber, membicarakan tindakan komunikatif artinya berbicara Jurgen Habermas dan lain sebagainya. Sehingga inilah yang menjadi persoalan pelik imu sosial Indonesia, karena sejak awal dikungkung bagaimana harus berkiblat ke barat. Meskipun tak dapat dipungkiri memang, Barat sudah selangkah lebih maju.
Oleh karena itu, berkaitan dengan diskursus pembebasan yang disebutkan sebelumnya, kenapa pentingnya ilmu sosial berbasis keindonesiaan?. Karena ilmu sosial lahir dan berkembang dari struktur, nilai, dan sistem sosial yang ada di tengah masyarakat. Maka jika kita sangat berbangga dengan teori-teori sosial Barat, tentu yang akan terjadi ketidaksesuaian. Bahwa ilmu sosial Barat tentu lahir dari struktur, nilai, dan sistem sosial barat yang notabene akan sangat berbeda dengan struktur, nilai serta sistem sosial yang ada di Indonesia. Ketidaksesuaian apa yang terjadi di masyarakat Barat dengan Indonesia, juga pernah dikritik oleh Soejatmoko disaat sarjana Barat melakukan toeritisasi terhadap masyarakat Jawa.
Mengutip salah satu pernyataaan Suyonto Usman, kemandekan dan ketergantungan keilmuan sosial itu salah satunya disebabkan sifat sarjana yang tidak kritis dan mengekor teori yabg sudah ada.