Dalam berbagai acara seminar kampus, gagasan seputar moderasi beragama kian berdengung. Kata moderasi sendiri selalu dipertentangkan dengan istilah radikalisme dan ekstremisme. Berbagai kejadian yang telah lalu pun diungkit lagi untuk menguatkan gagasan moderasi beragama.
Lantas apa moderasi beragama itu?Moderasi secara bahasa, moderatio dalam bahasa Latin, moderat dalam KBBI, washatiyah dalam bahasa Arab. Kesemua itu memiliki arti sedang, pertengahan, standar atau tidak berlebih-lebihan. Disandingkan dengan kata beragama, memiliki maksud berlaku sedang, tidak berlebih-lebihan dalam mengamalkan ajaran agama yang dianut.
Merujuk kepada nalar kritis para ahli, moderasi berarti tidak ke kanan dan tidak ke kiri. Seperti dikemukakan oleh Prof. Komaruddin Hidayat, moderasi beragama berangkat dari kutub ekstrim kanan dan ekstrim kiri.
Secara general jika arti moderasi itu telah tepat tidak berlebih-lebihan, maka moderasi beragama dapat dimaknai sebagai porsi bagi penganut agama dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Dengan begitu moderasi tidak bisa diidentikkan dengan satu agama saja, semua penganut agama di Bumi Pancasila harus menjadi penganut agama yang moderat.
Sehubungan dengan radikalisme dan ekstremisme yang selalu dipertentangkan dengan moderasi, maka perlu dilihat dengan kacamata beragama agar alasan munculnya paham radikal dan ekstrem itu menjadi sedikit lebih jelas.
Para radikalis dan ekstremis kanan muncul karena memberikan porsi berlebihan memahami agama secara tekstual. Sehingga dalam menjalankan agama, apa saja yang ada pada teks dianggap sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan. Dan apa saja yang tidak ada pada teks, maka dianggap telah melenceng dari ajaran agama.
Radikalis dan ekstremis kanan cenderung tidak melihat kondisi realitas, bahwa menjadi penganut agama dalam sebuah negara terdapat keberagaman yang harus diakui. Para radikalis dan ekstremis kanan ini memiliki semangat yang sangat besar untuk menerapkan hukum yang berlaku dalam agamanya.
Sebaliknya kaum radikalis dan ekstremis kiri muncul karena memberi porsi lebih pada kondisi realitas. Sehingga dalam praksis menjalankan agama cenderung melupakan teks dan hanya berpaku pada akal dalam memahami permasalahan agama. Pemahaman beragama bagi golongan radikalis dan ekstremis kiri memberikan ruang seluas-luasnya pada akal.
Sehingga otoritas teks suci dari tuhan sebagai sumber beragama menjadi terabaikan. Radikalis dan ekstremis kiri, dalam persoalan agama akan berbicara konteks, relevan atau tidak.
Kedua sebab tersebut memiliki dampak yang sama buruknya. Radikalis dan ekstremis kanan akan melahirkan sebuah gerakan dan tindakan anarkis dalam bernegara. Sedangkan golongan radikalis dan ekstremis kiri akan mencoba mengotak-atik ajaran agama yang bersifat ilahi dengan dalil-dalil yang berdiri di atas nama rasionalitas dan kemanusiaan.
Dengan demikian kedua cara pandang beragama tersebut sama-sama tidak ideal. Oleh karena itu diperlukan titik tengah yang kekinian disebut dengan moderasi beragama. Alasannya sangat sederhana, bahwa semua ajaran agama dipastikan menginginkan kedamaian bagi setiap penganutnya dan orang di sekelilingnya.