Selama masih ada syahwat, selama itu sejarah pelacuran akan selalu tetap hidup. Objek syahwat itu wanita, atau kaum hawa. Mereka yang melacurkan diri disebut dengan lonte, bunga latar, kembang latar, kupu-kupu malam, pelacur, Pekerja Seks Komersial (PSK) dan beberapa sebutan lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).Masih sangat membekas di dalam ingatan, seorang ulama tersohor di negeri ini menyebut oknum artis dengan sebutan lonte.
Masih dapat ditemukan di ruang digital jejak politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade menjebak seorang lonte di salah satu hotel di Padang. Dan yang terbaru, oknum polisi memesan seorang mahasiswi untuk memberikan "servis kamar" dengan harga cukup fantastis.
Masih banyak lagi kejadian-kejadian lain yang berhubungan dengan kata lonte. Dan setiap era, pasti akan selalu ada pekerja seksual atau perempuan berlabel lonte.
Ditinjau dari segi bahasa, sebutan lonte berasal dari bahasa Jawa mengacu kepada hewan kecil serupa kumbang yang keluar sarang saat petang dan mengeluarkan bau harum (W.J.S Poerwadarminta). Lambat laun sebutan itu berkembang dan disematkan kepada para wanita penghibur yang keluar untuk mencari nafkah kala senja tiba.
Lain halnya dengan Prof Gusti Anan, mengatakan kata "lonte" adalah "lonn" "tje" berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti upahan yang disayang. Tidak salah pula kiranya apa yang dikemukakan Prof. Gusti Anan, karena memang pekerjaan itu berhubungan dengan bayaran dari pemakai jasa tubuh perempuan tersebut.
Dalam perjalanan bangsa kita, lonte tetaplah berkonotasi negatif. Hal itu dikarenakan kita bangsa yang menganut budaya ketimuran. Selain itu disebabkan pemikiran warisan secara turun temurun di tengah masyarakat. Terlebih dikalangan orang kelas atas, para pejabat tinggi negeri ini, misalnya.
Mereka selalu mendengungkan pemberantasan terhadap para pekerja seks, walaupun secara realitas di antara mereka juga ada yang diam-diam menjadi penikmat liukan tubuh-tubuh perempuan yang disebut "lonte" itu.
Walaupun dinilai negatif oleh umumnya manusia bangsa ini, perempuan pekerja seks yang disebut lonte itu mendapatkan nilai berbeda di kalangan seniman. Seperti dalam nyanyian Iwan Fals "Lonteku".
Lewat lagu itu, Iwan menceritakan kebaikan perempuan lonte membantu pelarian seorang residivis. Senada dengan itu dicantumkan pula dalam lagu Titiek Puspa, yang kemudian lagu itu dipopulerkan Ariel kala group bandnya masih bernama Peterpan dengan judul "Kupu-kupu malam".
Tapi bagi saya tidak ada yang lebih indah selain untaian kalimat tentang para lonte dalam puisi W.S Rendra berjudul "Bersatulah pelacur-pelacur Kota Jakarta". Tidak hanya itu, banyak pula dari para pelukis di belahan dunia menjadikan lonte sebagai objek yang sangat indah di atas kanvas mereka.
Seniman, seolah mengatakan bahwa mereka tidak berbeda dengan kita. Apa yang mereka (lonte) lakukan juga sama halnya dengan profesi yang dilakoni banyak hewan berakal di muka bumi, sama-sama demi kehidupan.