Lihat ke Halaman Asli

Luzian pratama

#PandanganSosial #SeputarMasyarakat

"Biarlah Rumah Cunduang, Asalkan Sambal Lai Bominyak" Sebuah Aforisme untuk Menjadi Miskin

Diperbarui: 29 Oktober 2021   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Pakar sejarah ekonomi terkemuka Witold Kula melalui tulisannya pernah membicarakan tentang manusia ekonomi. Witold dalam tulisannnya, mengilustrasikan tentang manusia golongan bangsawan Polandia pada abad 17 tidak peduli kata hemat dan berpikir rasionalitas tentang laba. 

Yang terpenting bagi kaum bangsawan saat itu, berbelanja untuk dipakai atau dikonsumsi.Ada sebuah aforisme yang beredar di tengah masyarakat Kuantan Singingi, Provinsi Riau secara umum masyarakat suku Melayu asli, bunyinya begini, "biarlah rumah cunduang, asalkan sambal lai bominyak". Kata cunduang berarti condong atau hampir roboh atau miring. Dan sambal bominyak berarti ciri khas masakan Melayu yang memakai banyak rempah dalam masakannya.

Ungkapan itu beredar luas dan hapal oleh kebanyakan masyarakat Melayu. Walaupun sebenarnya ungkapan itu tidak dapat dibenarkan bahwa benar-benar lahir dari orang Melayu asli, atau pun orang Melayu semuanya demikian. Hal tersebut dikarenakan belum adanya bukti kuat secara tertulis tentang ungkapan itu, dan juga publikasi penelitian.

Kendati demikian, mari singkirkan dahulu masalah benar atau tidak, siapa yang penggagasnya, dan apa sebab munculnya ungkapan tersebut. Sejenak kita alihkan kepada hal yang lebih substansial tentang makna yang terkandung dalam ungkapan.

Mengambil istilah para sosiolog terdahulu, melihat dengan kacamata "mikroskop sosial", menganalisis kecenderungan secara universal, setidaknya dari ungkapan telah menjelma atau diterjemahkan menjadi sebuah pandangan ataupun acuan dalam berkehidupan bagi banyak orang Melayu.

Ungkapan "biarlah rumah cunduang, asal sambal lai bominyak", seakan menjadi miniatur dalam kehidupan masyarakat secara umum.

Jika sebelumnya Witold mengilustrasikan kondisi kaum bangsawan abad 17, fenomena dari ungkapan "biarlah rumah cunduang" adalah gambaran terbalik dari tulisan Witold. Kondisi kaum bangsawan yang diungkapkan Witold, golongan elit berbelanja bermaksud untuk menyakiti hati orang tidak mampu. Sedangkan ungkapan "biarlah rumah cunduang" adalah interpretasi ciri atau model orang melayu secara personal tanpa bermaksud untuk menyakiti, sebagaimana yang digambarkan Witold.

Jika ditelisik lebih dalam, "biarlah rumah cunduang" sangat jauh dari kata sejahtera. Meskipun secara normatif masyarakat itu disebut mampu untuk membangun, akan tetapi di sisi lain melakukan pembiaran demi masalah isi perut yang lebih baik.

Untuk bisa dikatakan sejahtera, menurut paparan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) setidaknya harus memenuhi enam indikator dasar, di antaranya; makan dua kali sehari atau lebih, memiliki pakaian yang berbeda, tempat tinggal dengan bangunan yang layak dan baik, mampu menangani kesehatan, anak umur 7-15 bersekolah, pergi ke sarana kontrasepsi apabila masa subur.

Kata "cunduang" yang berarti hampir roboh, sudah barang tentu jauh bergeser dari  kepemilikan tempat tinggal yang baik dan layak. Jangan ditanya lagi soal sanitasi, pakaian berbeda untuk bekerja dan di rumah, memberikan pendidikan yang baik untuk anak dan lain sebagainya.

Dalam artian "biarlah rumah cunduang" adalah perilaku pembiaran, mengabaikan, atau tidak peduli terhadap kondisi tempat tinggalnya. Penyebabnya adalah agar sesuatu yang ada pada kalimat ungkapan selanjutnya "asalkan sambal lai bominyak" terus dapat diwujudkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline