Lihat ke Halaman Asli

Tahun Baru Imlek, Kebudayaan Cina di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah sepuluh kali terakhir ini kalau tidak salah Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Nasional Republik Indonesia. Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, setelah lebih dari 30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC. Hal ini berlangsung ketika hubungan Indonesia dengan Cina terputus pada tahun 1966 dan baru mengalami perbaikan pada tahun 1989.

Pelarangan atas segala macam hal berbau Cina berlangsung dalam banyak cara. Seperti keharusan mengganti nama dari nama Cina ke nama Indonesia atau nama Cina yang diindonesiakan, pelarangan agama Konghuchu sehingga etnis Tionghoa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, penutupan sekolah-sekolah berbahasa Cina sampai dilarangnya penggunaan bahasa Cina secara meluas diseluruh Indonesia, serta perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya seperti dipersulitnya mereka memasuki ranah politik, militer dan bahkan hingga masalah kewarganegaraan dimana untuk mengurus KTP saja harus menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia (yang seharusnya tidak perlu, karena mereka yang kelahiran Indonesia secara otomatis adalah WNI). Warna Cina hanya nampak pada klenteng-klenteng yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kegiatannya. Kendati Feng Shui (atau bahasa selatannya Hong Shui) Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan ini pasca 1998, perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2000-an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cina-pun mulai kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin. Kebangkitan Budaya Minoritas Belakangan kian banyak keturunan Cina Indonesia yang dengan terbuka menyebut dirinya sebagai etnis Tionghoa. Kendati sebenarnya mereka berasal dari suku Hokkien, Hokchia, Teochew, Hakka (Ge), Kanton, Mandarin dan sebagainya, namun di Indonesia mereka dianggap satu sebagai etnis Cina alias Tionghoa (atau kalau di Metrotv disebut Chaina.. sebunyi dengan Caina bahasa Sunda yang artinya ‘airnya’). Kesadaran ini muncul seperti dengan keterbukaan mereka menyebut diri sebagai umat Tri Dharma (khususnya Konghuchu) dan mengganti agama dalam KTP mereka dengan Konghuchu. Segala sesuatu yang berbau Cina kini sudah menjadi kelaziman, kendati huruf Cina hanya muncul sporadis tidak seperti di Malaysia atau Singapura. Kesadaran ini mirip dengan kebangkitan suku Cornish di Inggris Barat Daya (daerah Penzance) yang berusaha membangkitkan kembali Bahasa Cornish setelah dua abad menghilang dan mulai membuahkan hasil dengan diakuinya bahasa Cornish sebagai bahasa daerah di Inggris Raya.

Tentunya budaya Cina di Indonesia ini akan berbeda dengan yang ada di Malaysia, karena secara sejarah dan sosio-politik keduanya sudah terpecah dan identitas keindonesiaan dikalangan etnis Tionghoa inipun bervariasi pada setiap individunya. Tapi, yang bisa diambil sebagai garis besar, etnis Cina Indonesia dalam banyak hal bisa jauh lebih nasionalis dibanding dengan orang pribumi Indonesia sendiri. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa orang Cina Indonesia dimancanegara mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Bangsa Indonesia bersuku Tionghoa. Pada Tahun Harimau ini, mudah-mudahan terjadi perubahan berarti. Apalagi dengan semakin diakuinya aneka budaya khas Tionghoa diberbagai segi hidup masyarakat Indonesia, diharapkan akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, pembauran yang hakiki, bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era sebelumnya. Meski stereotype dan diskriminasi masih ada. Dalam contoh kecil ditempat saya kuliah, saya bisa melihat betapa mahasiswa pribumi dan mahasiswa keturunan Cina bisa membaur dengan gayengnya. Tidak ada pengkotak-kotakan pergaulan berdasarkan ras dengan menggunakan bahasa persatuan yang sama dan tentunya visi perkawanan yang sebangun. Budaya minoritas (berlaku juga pada budaya-budaya daerah) bukan ancaman bagi persatuan bangsa, sepanjang bisa diatur dengan sebaik-baiknya dan tetap pada koridor sebagai pemerkaya budaya bangsa Indonesia.

Saya bangga dengan kemajemukan, kendati mengalami proses asimilasi (baik asimilasi parsial atau total) tentunya setiap minoritas berhak mempertahankan meski sebagian dari budaya leluhurnya. Revitalisasi budaya seperti budaya Cina ini tidak perlu ditakuti, karena toh mereka sudah menyatakan dan merasa memiliki Indonesia ini sebagai tanah tumpah darah mereka, bukan Chungkuo atau Tiongkok yang merupakan tanah asal leluhur mereka. Tulisan yang berhubungan dengan artikel ini dapat dibaca http://luxsman.blogspot.com/2010/02/tahun-baru-imlek-bukan-hari-raya-agama.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline