Malam ketika saya membuat tulisan ini adalah tepat satu tahun tragedi Hak Asasi Manusia yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Kasus penyiraman air keras itu sampai sekarang belum menemui titik terang.
Jangankan untuk mengungkap identitas otak di balik semua ini, sekedar menemukan pelaku penyiramannya saja juga nihil. Gemparnya tragedi ini bisa dikatakan hampir sama dengan apa yang terjadi kepada aktivis HAM, Munir yang meninggal karena racun di makanannya pada 2004 silam. Sama karena kedua tokoh tersebut adalah pejuang Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Melalui tulisan ini saya tidak mau terlalu menggiring opini publik dengan membuat spekulasi mengenai apa sesungguhnya motif dibalik penyerangan yang dilakukan orang tak dikenal terhadap penegak hukum seperti Novel Baswedan. Karena beberapa hari setelah kejadian banyak timbul argumentasi yang mengatakan jika kejadian ini dilatarbelakangi motif oknum yang tidak senang terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Wakil Ketua KPK, Saut Sitomorang pernah mengungkapkan dugaan tentang adanya motif ego dibalik penyerangan kepada Novel Baswedan. "Bisa jadi motif ego, ada orang berpikir Pak Novel jagoan sehingga timbul rasa tidak suka," ungkap Saut.
Di sisi lain, ada juga anggapan kepentingan politik yang menjadi pemicu, karena kasus berjalan bersamaan ketika berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia 2017. Apapun itu motifnya, sejujurnya yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah upaya kepolisian untuk segera menemukan pelaku.
Oleh sebab itu saya tidak mau terjebak dalam segala argumentasi di atas yang pada akhirnya akan berimplikasi buruk karena termasuk perilaku intervensi terhadap kinerja Polri.
Hukum merupakan panglima tertinggi dalam penegakan keadilan bagi rakyat, maka dari itu saya sama sekali tidak berniat untuk mencampuri bagaimana dewi keadilan itu bekerja untuk mengungkap kebenaran yang hakiki. Sebagai rakyat, saya mencari celah lain yang sekiranya bisa saya intervensi untuk sekedar memberikan surat terbuka demi menambah suara jutaan rakyat Indonesia yang mendorong agar kasus ini segera diusut secara tuntas.
Celah itu ada pada seorang pimpinan negara yang bernama Presiden Joko Widodo. Secara konstitusional memang beliau adalah pemimpin tertinggi sekaligus termasuk sebagai simbol negara yang harus dijunjung tinggi. Namun yang perlu diingat, hakikatnya seorang Presiden ialah pelayan rakyat.
Ya, sebagai seorang majikan, kita semua termasuk salah satunya adalah saya, bisa memanfaatkan celah itu sebebas-bebasnya secara demokratis untuk melakukan intervensi berupa kritik dan saran yang berkaitan langsung dengan kejadian ini. Sebagai pemimpin, saya harap bapak tidak antikritik terhadap segala persoalan menyangkut bangsa ini, khususnya mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia semacam ini.
Sebagai seorang Presiden, Joko Widodo mempunyai berbagai macam kewenangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu jika dirasa mendesak. Salah satu dari kewenangan itu adalah memberikan perintah untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang akan membantu dalam pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini.
Sayangnya, terhitung sudah satu tahun sejak kejadian tersebut berlalu, Presiden belum juga menunjukkan sinyal-sinyal akan membentuk TGPF yang salah satu tugasnya juga membantu kinerja pihak kepolisian.