Kemegahan panggung sepakbola di daratan Inggris selalu menawarkan setiap insan yang menggeluti dunia si kulit bundar untuk mencari peruntungan di negeri ratu Elizabeth tersebut. Mulai dari pemain, pelatih, hingga investor berlomba-lomba untuk bisa menembus sisi glamor Liga Premier. Bagi pekerja sepakbola seperti pemain dan staf pelatih, potensi mendapatkan pemasukan materi yang tak terbatas tentu menjadi godaan tersendiri yang terkadang menghilangkan akal dan logika manusia. Besaran dana yang seakan tidak pernah habis itu tentu tak akan tersedia tanpa kehadiran investor-investor kaya yang rela menghabiskan uang secara besar-besaran untuk menghidupi sebuah klub sepakbola di Inggris.
Namun terkadang, sikap investor yang semacam ini kemudian menimbulkan masalah lain tatkala bersinggungan dengan kenyataan kerasnya kompetisi yang harus dijalani. Ambisi membabi buta dari pemilik saham yang berharap uangnya bisa membuat sebuah klub berprestasi dengan cara yang instan. Padahal sebuah tim yang membidik prestasi, tentu mereka harus melalui sebuah proses. Seperti halnya emas yang tak mungkin menjelma menjadi perhiasan bernilai jual tinggi tanpa melalui proses panjang. Namun sayangnya, banyak pemilik klub di Liga Inggris yang hanya berorientasi pada hasil karena meyakini bahwa prestasi bisa dibeli hanya dangan besaran Poundsterling.
Setidaknya hal semacam ini sudah dialami oleh klub seperti Chelsea. Kesebelasan itu memiliki status sebagai klub kaya dengan keuangan yang bagus setelah Roman Abramovich, sang taipan minyak asal Rusia mengakuisisi "si biru" pada 2003. Perlu diingat, jauh sebelum Abramovich membeli Chelsea dengan kekayaannya, klub asal London ini sama sekali tidak diperhitungkan di pentas Liga Inggris.
Mereka hanya mampu menorehkan prestasi terbaik sebagai kampiun pada musim 1955. Setelah datangnya investor, Chelsea merupakan klub kaya baru yang menciptakan sensasi dengan kemampuannya mendatangkan beberapa pemain bintang kala itu seperti Claude Makalele, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron dan kemudian juara pada musim berikutnya dengan punggawa yang lebih mentereng semacam Didier Drogba, Ricardo Carvalho, Paulo Ferreira, dan Petr Cech.
Kehadiran Abramovich yang mampu mengubah derajat the bluessempat dielu-elukan oleh pendukungnya, apalagi reformasi besar-besaran tersebut langsung menghasilkan 2 trofi Liga Premier yang diraih dalam jangka dua musim berturut-turut, yakni pada 2004/2005 dan 2005/2006. Namun, hegemoni itu tak berlangsung lama setelah pada 2007 sang bos memberhentikan Jose Mourinho, pelatih kepala bertangan dingin yang direkrut demi sebuah harga mati bernama prestasi.
Pemecatan itu menggegerkan dunia, alasannya karena the special one dianggap sukses menangani Chelsea dengan rentetan gelar juara yang sudah lama dinantikan publik Stamford Bridge. Tapi investor tetaplah investor, walaupun datang bagaikan malaikat dengan anggaran yang besar, seorang Abramovich tetap punya sisi ambisius yang tidak bisa ditentang oleh siapapun. Gelar juara liga domestik seakan sudah membosankan bagi dirinya, ia menginginkan sesuatu yang lebih besar, sebuah capaian baru dan sekaligus menciptakan sejarah dengan membawa Chelsea meraih "si kuping besar," Liga Champions Eropa.
Kenyataannya memang demikian, semenjak kepergian Mourinho, banyak pelatih-pelatih top Eropa berdatangan silih berganti untuk membesut The Roman Emperor. Namun bisa dipastikan karir mereka tidak akan pernah bisa menyamai pengabdian Sir Alex Ferguson di Manchester United yang justru datang ke Old Trafford tanpa nama besar, tapi mampu bertahan hingga 26 tahun dengan 38 gelar juara. Kehadiran Fergie di setan merah awalnya mendapatkan sambutan keraguan dari banyak pihak.
Bandingkan dengan saat Jose Mourinho mengambil alih kursi kepelatihan Chelsea, ia sudah diyakini akan mampu memenuhi ambisi Roman Abramovich dengan pengalamannya membawa klub sebelumnya, FC Porto juara Liga Champions Eropa pada musim 2003/2004. Namun, akhirnya portofolio itu juga yang membuat the special one harus angkat kaki dari Stamford Bridge. Mungkin Abramovich beranggapan, jika di Porto, yang notabene bukan merupakan klub dengan kekayaan melimpah saja Mourinho mampu mengangkat trofi Liga Champions, namun kenapa di Chelsea yang didukung dengan dana besar gagal. Berarti ia bukan pelatih terbaik yang mampu memaksimalkan peran pemain-pemain bintang the blues.
Pada musim 2007/2008, pelatih asal Israel, Avram Grant hampir saja memenuhi ambisi pemilik klub karena mampu mengantarkan Chelsea ke Final Liga Champions Eropa untuk pertama kalinya dalam sejarah klub. Namun impian itu tidak pernah terwujud setelah dikalahkan oleh sesama tim Inggris, Manchester United dengan skor 5-6 melalui babak adu penalti.
Seperti yang dialami oleh Mourinho, kegagalan mencapai prestasi yang menjadi ambisi harga mati sang investor pun membuat pemecatan menjadi sebuah keniscayaan bagi Avram Grant. Luiz Felipe Scolari sempat mencoba peruntungan untuk merasakan kursi panas sebagai manajer, tetapi sayang, keberaniannya itu justru berbuah pemutusan kontrak lebih cepat, karena secara efektif ia hanya membesut tim selama 7 bulan semenjak didatangkan di bulan Juli 2008. Walaupun datang dengan riwayat kebintangan setelah membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 2002, nampaknya hal itu tak cukup menggoda Abramovich untuk menambah kesempatan bagi dirinya.
Bongkar pasang pelatih membuat Chelsea kesulitan mengulangi masa manis untuk menjadi penguasa di Liga Inggris seperti ketika dilatih oleh Jose Mourinho. Carlo Ancelotti lalu datang dengan kepercayaan diri tinggi yang kemudian mengembalikan trofi domestik, yakni Liga Premier pada 2009, Community Shield 2009, dan Piala FA 2010 ke Stamford Bridge.