Perhelatan turnamen sepakbola berskala internasional selalu mengundang perhatian mata dunia untuk meluangkan waktu ikut larut dalam gegap gempitanya. Meskipun tidak harus terlibat dengan cara menyaksikan tiap pertandingan secara langsung, nampaknya penghuni semesta ini sudah cukup dimanjakan dengan kemajuan teknologi, masa di mana provider yang menyediakan jasa koneksi internet untuk live streaming dan stasiun televisi berlomba-lomba memberikan segala kemudahan yang diburu oleh para penggila bola.
2016 tidak hanya menghadirkan bulan suci Ramadhan bagi para umat muslim di seluruh dunia, karena tahun ini juga menyajikan turnamen sepakbola Euro 2016 untuk mereka yang selalu memuja si kulit bundar dan menganggapnya sebagai agama ke dua. Kemeriahan Euro tidak hanya dirasakan di Negara Perancis yang notabene berstatus sebagai tuan rumah untuk gelaran tahun ini. Asia, Afrika, bahkan Amerika yang juga sedang menyelenggarakan event sepakbola besar berlabel Copa America Centenario 2016 yang diselenggarakan untuk memperingati 100 tahunnya pun ikut melebur bersama penghuni planet lainnya.
Berbicara mengenai sepakbola tentu akan sangat menarik, karena olahraga ini dikenal memiliki dinamika yang sangat tinggi baik di dalam maupun luar lapangan hijau. Karena apapun yang terjadi di luar lapangan hijau terkadang ikut berimbas pada pola permainan di dalam megahnya stadion yang menjadi panggunya para pesepakbola. Setiap turnamen selalu menghasilkan bintang baru yang berusia muda dan kemudian mejadi incaran para raksasa klub elit dunia saat bursa transfer pemain dibuka.
Kita ingat Piala Dunia 2010 memunculkan beberapa rising star seperti Mesut Ozil, Sami Khedira, serta dua rival yang selalu bersaing sengit di atas lapangan, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Selanjutnya, pada Euro 2012 lahir nama baru, sebut saja striker yang sempat menjadi pahlawan bagi Bayern Munich beberapa waktu lalu, Mario Mandzukic dari Kroasia, Karim Benzema, Perancis, dan Alan Dzagoef yang menjadi perbincangan hangat karena penampilan heroiknya saat membela negaranya Russia. Paul Pogba, Mario Gotze, dan Neymar menjadi generasi selanjutnya yang bersinar di panggung Piala Dunia 2014.
Fakta selalu lahirnya bintang-bintang baru dari turnamen sepakbola yang berskala besar di tingkat internasional selalu menjadi cerita menarik yang tidak pernah tamat, karena kelanjutan dari kisah itu akan terus menerus ditunggu oleh pala penggemar sejati. Bakat sepakbola seakan tidak pernah mati di dunia ini, selalu saja ada sosok baru yang meramaikan arena kompetisi, sekaligus membuat bingung para pemantau bakat dan presiden klub yang sedang mencari amunisi baru untuk mengisi kekuatan tim yang dibutuhkan.
Karena dalam sepakbola, label baik dan bintang tidak selalu sejalan dengan nasib yang akan didapatkan, apalagi tatkala sang rising star tersebut memilih jalan yang salah untuk menggapai mimpi selanjutnya. Paul Pogba mungkin tidak akan pernah menjadi incaran Chelsea dan Real Madrid seperti sekarang jika ia masih memutuskan untuk bertahan di klub yang membinanya, Manchester United. Pilihan yang brilian dari sang gelandang untuk menerima pinangan Juventus dan kebodohan strategi transfer Manchester United yang kurang peka akan potensi emas dalam tubuh Pogba dengan melepasnya ke klub kota Turin tersebut secara gratis membuat pemain tengah Tim Nasional Perancis ini sekarang menjadi bintang yang paling diburu oleh deretan nama klub-klub elite.
Apa yang dilakukan oleh Manchester United terhadap bakat Paul Pogba sepertinya juga menular di level Tim Nasional Inggris yang saat ini tengah berjuang di babak Grup B Euro 2016 bersama Russia, Slovakia, dan saudaranya Wales. Jika melihat komposisi pemain dan suasana Liga Primer Inggris yang tidak pernah jauh dari gaya hidup glamor klub anggotanya dalam hal mendatangkan pemain bintang, nasib three lions sangat memprihatinkan, karena ia adalah salah satu negara besar kiblat sepakbola di dunia yang fakir prestasi.
Tengok saja, prestasi terbaik mereka sepanjang masa yang selalu kita ingat adalah juara Piala Dunia 1966, sedangkan di turnamen Piala Eropa, tiga singa sama sekali belum merasakan manisnya merayakan juara di tengah lapangan. Berkali-kali bongkar pasang pelatih dan keluar masuknya pemain baru yang berganti generasi setiap masa tidak berpengaruh banyak bagi negara yang saat ini dibesut oleh arsitek kawakan Roy Hodgson tersebut. padahal, kita semua tahu negara dengan ibu kota London tersebut tidak pernah kehabisan panglima lapangan hijau yang namanya selalu tersohor di telinga dunia. Ada nama bek kiri bengal Stuart Pearce, kapten saat tiga singa menjuarai Piala Dunia 1966 Bobby Moore, gelandang serba bisa Bryan Robson, pencetak gol terbanyak Inggris sepanjang masa Bobby Charlton, Paul Gascoigne, dan striker yang saat ini lebih sering duduk di kursi komentator Gary Lineker.
Lihat saja nama besar yang dimiliki Inggris ternyata juga tidak menjamin impian prestasi yang berharap selalu bisa mereka dapatkan setiap mengikuti event turnamen besar. Setelah para legenda itu memutuskan untuk gantung sepatu dan memberikan kesempatan kepada pemuda lainnya, penerus mulai muncul dan tidak pernah berhenti mengisi lini demi lini di formasi timnas Inggris dari masa ke masa, kita mengenal sang pria berkharisma David Beckham, Wayne Rooney, Frank Lampard, dan John Terry.
Banyak pengamat sepakbola yang menilai bahwa buruknya penampilan Inggris dalam setiap kompetisi adalah kesalahan pelatih. FA ( Football Association ) selaku induk organisasi sepakbola di Inggris menjadi pihak yang paling disalahkan karena dianggap gagal memilih pelatih yang tepat. Anggapan para pengamat tersebut tidak sama dengan apa yang akan saya kemukakan dalam artikel ini.
Dalam sejarahnya, Inggris selalu ditangani oleh pelatih berpengalaman seperti Sir Alf Ramsey saat menjuarai world cup, Ron Greenwood, Glenn Hoddle, Sven-Goran Eriksson, Steve McClaren, Fabio Capello, dan terakhir adalah Roy Hodgson. Melihat daftar nama besar yang pernah menangani Inggris membuat saya sulit membayangkan seluruh nahkoda itu mempunyai sebuah dosa yang sama berupa kesalahan dalam menerapkan strategi yang akhirnya membuat Inggris selalu pulang dengan tangan hampa dari turnamen besar. Pelatih tersebut juga didukung dengan komposisi pemain yang selalu berkualitas dan tentu tidak diragukan lagi. Sebagai penulis yang juga penggemar sepakbola, saya lebih sepakat apabila kegagalan timnas Inggris selama ini akibat dari sistem yang diterapkan oleh FA dalam kompetisi domestiknya.