Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kota Pelajar

Diperbarui: 7 Februari 2016   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yogyakarta agaknya menyimpan sebuah cerita yang berbalut kenangan tersendiri bagi sebagian orang yang sudah pernah berkunjung, baik sebagai perantau yang berstatus mahasiswa, maupun wisatawan domestik serta mancanegara. Datang dan pergi adalah kegiatan yang tidak asing hampir setiap waktu di kota gudeg ini, ada wisatawan yang baru datang, namun juga tidak banyak yang bergegas siap pergi kembali untuk mengunjungi destinasi di kota lain atau kembali ke rutinitas di domisilinya, setiap tahun ajaran banyak juga pemburu ilmu baru yang siap berguru pada ilmu tak terbatas yang ditawarkan oleh Jogja, tetapi ada juga Mahasiswa yang sudah selesai, kemudian bersiap untuk menghadapi sebuah perjuangan yang hakiki, yakni kembali pulang ke kampung halaman untuk membangun dengan ilmu yang telah ia dapat, atau mencari petualangan lain demi menata masa depan yang lebih baik.

Sebagai seorang perantau sekaligus pemburu ilmu, saya sungguh merasakan betapa ramahnya tempat ini menyambut setiap insan yang hadir dengan berbagai macam tujuan baru yang diharapkan, dan sebagian besar dari mereka punya goal yang tidak jauh-jauh dari ilmu untuk masa depan. Mungkin banyak dari kita sebagian masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa satu-satunya kota yang mampu menjawab ekspektasi untuk merubah nasib di masa depan adalah Jakarta, hal ini mengingat statusnya sebagai ibu kota negara yang punya lapangan kerja tidak terbatas dengan gaji unlimited seperti mimpi-mimpi setiap sosok yang ingin punya takdir lebih baik dalam hal kehidupan duniawi. Anggapan bahwa Jakarta adalah tempat terbaik untuk mengadu nasib tidak berlaku bagi saya, ya, ini hanya sebatas pendapat pribadi saja, tidak harus dipercayai seratus persen kebenarannya, tapi melalui tulisan ini saya akan menyampaikan beberapa alasan-alasan logis berdasarkan pengalaman saya berteman dengan hari-hari di kota pelajar.

Seseorang datang ke suatu tempat dan mengharapkan sebuah keajaiban karena fanatisme klasik yang mempercayai bahwa destinasi yang akan ia tinggali tersebut adalah jalan keluar terbaik untuk perubahan nasibnya ke arah lebih baik. Saya menganggap hal tersebut keajaiban karena omong kosong jika tanpa berbekal keterampilan serta ilmu yang tepat guna mereka datang ke tanah orang lantas berharap ada pihak yang berkenan memberikan kepercayaan baginya dalam bentuk pekerjaan serta gaji, itu adalah sebuah buaian mimpi-mimpi yang saya jamin tidak akan pernah tercapai tanpa sebuah usaha yang bernama ilmu, pengalaman dan keterampilan, Yogyakarta memberikan itu semua, itulah mengapa saya menilai Jakarta bukan lagi tempat yang tepat. Jika berbicara jumlah lapangan pekerjaan mungkin hampir seluruh rakyat Indonesia akan mengamini bahwa ibu kota negara selalu pilihan terbaik, tetapi untuk tahap awal dalam proses pencarian bekal menuju ke sana, saya meyakini bahwa kota pelajar mempunyai penawaran lebih baik saat ini.

Harga yang harus dibayar untuk belajar di daerah yang terkenal dengan landmark tugu ini pun terbilang cukup terjangkau mulai dari akomodasi hingga soal perut. Untuk sekedar menikmati sepiring makan berat dengan lauk ala rumahan seperti sayur asem, ikan bandeng, serta satu gelas es teh cukup dibanderol dengan Rp.10.000,-, kemudian jika ingin bepergian yang hemat bahan bakar serta mengurangi kepadatan kendaraan, tersedia moda transportasi seperti Trans Jogja yang hanya berharga Rp.3000,- untuk satu kali naik mengelilingi setiap sudut Yogyakarta, ada juga layanan ojek online yang saat ini sedang menjadi trend tersendiri karena terintegrasi secara langsung dengan smartphone. Tarif kos-kosan juga hanya berkisar antara Rp.300.000,- untuk setiap bulannya, banyak pilihan yang ditawarkan sehingga tidak perlu khawatir akan membeli kucing dalam karung. Selain alasan rupiah terjangkau yang harus dikeluarkan setiap pendatang di Jogja, ketenangan kotanya yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat hedonis menjadi pertimbangan lain karena cocok jika menjadi tempat belajar.

Kembali lagi pada bahasan ilmu yang ditawarkan oleh Jogja, tidak bisa kita pungkiri bagi siapapun yang pernah menjadi perantauan di sana pasti akan memahami betapa dermawannya tempat ini dalam memberikan berbagai macam pembelajaran bagi setiap pendatang, mulai dari yang sifatnya formal seperti bangku perkuliahan dengan bermacam pilihan jurusan dan Universitas terkemuka, serta yang tidak kalah jauh lebih penting adalah ilmu kehidupan bermasyarakat yang sangat kental dengan kebiasaan dan etika Masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa ketimuran yang sampai sekarang masih dijunjung tinggi di sana. Sikap ramah tamah mereka dalam bersosialisasi antar warga penduduk asli terhadap pendatang seperti tidak ada jarak yang memisahkan, maka tidak heran juga jika banyak teman saya di bangku perkuliahan berasal dari luar jawa, setelah lama menempuh ilmu di Yogyakarta mereka kemudian menjadi lancar berbahasa jawa, bahkan beretika selayaknya orang Jawa bukan lagi menjadi kegiatan canggung yang mereka lakukan.

Dengan ilmu kehidupan dan formal yang diperoleh dari kota tersebut, kemudian mampu mereka implementasikan setelah lulus dari bangku perkuliahan untuk mencari masa depan yang lebih baik dengan sebuah pekerjaan di tempat lain. Maka point penting yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah salah besar apabila langkah kita langsung untuk mencari pekerjaan yang tepat dengan gaji yang baik tanpa mempertimbangkan bekal apa yang sudah kita peroleh dan miliki. Berguru di kota manapun untuk mendapatkan ilmu bukan suatu masalah, tapi yang paling penting mencari ilmu apapun itu bentuknya adalah sebuah harga mati untuk masa depan, termasu belajar di kota pelajar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline