Lihat ke Halaman Asli

Luthfiyah Sri Kusuma Wardhani

Mahasiswi di Institut Pertanian Bogor

Hubungan Komunikasi dan Kelekatan Orang Tua dengan Anak pada Blended Family terhadap Self-Esteem Anak Remaja

Diperbarui: 22 November 2021   14:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahukah kamu? Masa remaja adalah masa-masa dimana timbulnya berbagai perubahan yang ditandai dengan perkembangan sosial emosi dan proses mencari jati diri. Masa remaja juga disebut sebagai masa-masa yang rentan dengan perilaku yang berisiko dan biasanya dilatar belakangi oleh rendahnya self-esteem. Self esteem merupakan pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri (Bachman et al. 2011). Rendahnya self-esteem seseorang akan berpengaruh terhadap masalah agresivitas, perilaku anti-sosial, dan kenakalan pada orang tersebut. Melalui self esteem, seseorang dapat mengevaluasi dirinya untuk mengubah atau untuk mengembangkan keterampilan sosial, fisik dan akademis (Lawrence 2006).

 Pada saat memasuki usia remaja seseorang akan lebih sensitif terhadap suatu masalah, terutama masalah dalam keluarga mereka. Banyak kasus yang terjadi pada anak remaja yang mana salah satu penyebabnya adalah keharmonisan antar anggota keluarga yang rendah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa telah terjadi 12.272 kasus yang melibatkan anak remaja sebagai korban dan pelaku pada kasus tawuran, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual di Indonesia antara tahun 2011-2016. Kasus tersebut disebabkan oleh rendahnya keharmonisan antar anggota keluarga, kurangnya dukungan dan pembinaan dari orang tua dan guru, rendahnya nilai atau norma keluarga, serta kurangnya solidaritas dari teman sebaya dan lain sebagainya (Puspitawati 2012).

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa keterlibatan keluarga terdekat atau orang tua dalam mengembangkan kemampuan akademis dan perilaku sosial anak sangat dibutuhkan (Hornby 2011).  Pada umumnya, seseorang di akhir masa remajanya akan cenderung memiliki tujuan dan harapan hidup serta self-esteem yang lebih rendah. Hal ini berhubungan dengan latar belakang keluarga terutama status perkawinan orang tua (Chui dan Wong 2015). Tidak semua keluarga dapat membentuk keluarga yang harmonis seperti apa yang diinginkan, perpisahan yang diakibatkan oleh perceraian atau salah satu pasangan meninggal dunia membuat salah satunya memilih untuk membangun sebuah keluarga baru yang menempatkan posisi anak berada dalam keluarga kombinasi yang disebut dengan istilah Blended family atau di Indonesia lebih familiar dikenal dengan istilah keluarga keluarga sambung.

Self-esteem remaja dapat dibentuk oleh pola komunikasi dan kelekatan remaja dengan orang tua. Pada tahap pengembangan hubungan keluarga sambung dalam unit keluarga dan tahap siklus kehidupan, diantara anggota keluarga banyak terjadi ketidaksesuaian. Anggota keluarga sambung akan melewati banyak perubahan dan transisi sebelum memasuki bentuk keluarga baru. Hal tersebut akan berpotensi menyebabkan stress, kerugian, dan gangguan yang signifikan terutama pada anak remaja. Dalam hal ini orang tua (baik orang tua kandung maupun orang tua sambung) harus terus melakukan pendekatan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak (Le Poire 2006).  Para peneliti mengemukakan bahwa pertemuan pertama memegang peran penting dalam membangun sebuah keluarga sambung. Kesan pada pertemuan pertama ini lah yang menentukan kelanjutan hubungan  dan komunikasi di dalam keluarga sambung berlanjut dengan baik ataupun sebaliknya (Prayaksan dan Santoso 2019).

            Komunikasi antara orangtua dengan anak dapat dipengaruhi oleh keutuhan keluarga  (West dan Turner 2014). Perceraian menjadi pemicu stress pada hubungan antara suami dengan iistri dan hubungan orangtua dengan anak. Anak remaja dengan orang tua tunggal cenderung memiliki self-esteem dan konsep diri yang rendah (Kiraz dan Ersoy 2017). Sementara itu, anak remaja dari keluarga utuh cenderung memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik dan mengarah pada hal yang positif daripada anak remaja dari keluarga yang bercerai ataupun pada blended family. Namun, hal tersebut  juga tidak dapat terjadi apabila tetap terjalin hubungan komunikasi yang lekat pada seorang anak dengan orang tuanya, baik orang tua kandung ataupun orang tua sambung.

            Komunikasi yang baik bermula dari kelekatan antara orangtua dengan remaja sehingga penting untuk mengembangkan kelekatan hubungan dalam keluarga. Kelekatan antara orang tua dengan remaja yang baik akan berpengaruh positif terhadap self-esteem remaja, yang mana semakin baik kelekatan orangtua-anak maka akan meningkatkan self-esteem remaja tersebut. Remaja yang lekat dengan orangtuanya cenderung mudah dalam membuat keputusan, misalnya dalam hal karir (Emmanuelle 20090. Lebih lanjut, kelekatan yang rendah pada masa kecil anak dengan orang tuanya akan mempengaruhi self-esteem yang dimiliki oleh anak cenderung ke arah yang negatif dan memicu depresi pada saat anak tersebut beranjak remaja (Tomoda 2015).

            Penelitian terkait hubungan komunikasi dangan kelekatan orangtua dengan anak pada blended family terhadap self-esteem remaja diteliti dengan mengambil seorang responden berusia remaja yang berasal dari keluarga beridentitas blanded family bernama Farah. Farah merupakan seorang remaja yang statusnya merupakan seorang mahasiswi dan bertempat tinggal di kota Bandung. Keluarga Farah beridentitas blended family sejak tahun 2015. Farah saat ini tinggal bersama ayah kandung beserta ibu sambungnya, akan tetapi masih berhubungan dekat dengan ibu kandungnya. Keluarga Farah menajdi sebuah keluarga blended family dikarenakan kedua orangtua kandunganya bercerai dan kemudian ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain dan Farah ikut dengan ayahnya.

Penelitian dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Farah terkait kedekatannya dengan ketiga orang tua yang dimilikinya sekarang yang kemudian didapatkan hasil bahwasanya orang yang paling sering menanyakan kondisi Farah adalah ayah kandungnya, disusul dengan ibu sambungnya yang disebutnya dengan ‘mamih’, baru kemudian ibu kandunngnya. Namun, ketika Farah ingin memutuskan sesuatu, Farah lebih sering dan percaya untuk meminta pendapat kepada ayah dan ibu kandungnya dibandingkan kepada ‘mamih’. Pengaruh komunikasi anatara orang tua dengan anak remaja terhadap self-esteem remaja pada blended family memiliki pengaruh yang sangat besar bagi seorang Farah. Peran komunikasi yang baik antara Farah dengan ketiga orangtuanya diketahui berkontribusi besar terhadap pembangunan self-esteem yang ada pada diri Farah ke arah yang lebih baik.

Melihat dari kasus Farah, dapat diambil pembelajaran bahwa penting bagi suatu keluarga untuk meningkatkan kualitas komunikasi dan kelekatan hubungan antara anggota keluarga di dalam sebuah keluarga, baik dalam keluarga utuh, tunggal, ataupun blended family. Kelekatan antar anggota keluarga dapat dicapai dengan membangun komunikasi yang baik, karena komunikasi yang dibangun dnegan baik dapat menghasilkan rasa nyaman, aman, dan penuh dengan rasa kasih sayang antar anggota keluarganya. Menceritakan perasaan yang dirasakan sehari-hari, baik berupa rencana, keberhasilaan ataupun kegagalan kepada anggota keluarga akan menciptakan suatu hubungan komunikasi yang baik dalam keluarga karena semua informasi dianggap telah tersampaiakan kepada seluruh anggota keluarga dan diketahui, dengan begitu kelekatan didalam keluarga akan semakin meningkat dan terciptanya keharmonisan dalam keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline