Lihat ke Halaman Asli

Jatim Mengajar 2: Terhalang Banjir

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Sehabis hujan deras jalanan diterjang banjir, sehingga harus menggunakan rakit bambu."][/caption] Pagi sekitar pukul 05.00. Saya menengok keluar dari jendela kamar tempat kami menginap. Udara bersih tercium dari balik jendela. Hamparan tanaman buah naga, pohon puring, dan aneka bunga-bunga, serta pohon-pohon tinggi yang menjadi latar belakangnya, semua dengan warna aslinya. Sepertinya sayang kalau pagi yang indah ini dilewatkan begitu saja. Saya dan Mas Ayik bersiap. Mengambil sepatu kets. Kami bermaksud jogging. Bu Lusi masih bermalas-malasan di tempat tidur. Perutnya bermasalah sejak semalam, diare, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin rambutan, mungkin rawon, mungkin ayam pedas, mungkin karena tangannya yang kotor. Menunya dari kemarin sama persis dengan menu saya dan Mas Ayik, tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Sesuai amal dan perbuatannya kali. Hehe... Eko Sumargo sudah menunggu di depan kamar. Anak muda itu begitu sopan, tidak banyak omong, tapi di balik ketenangannya itu, dia menyimpan keteguhan dan ketekunan yang mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya. Sejak dari Kandangan kemarin, saat berbincang dengan Pak Zam dan bertelepon dengan Pak Ismaini, belasan kali saya mendengar pujian dan kekaguman untuk Eko Sumargo. Ketekunan dan keteguhannya sangat menginspirasi. Dia membuat banyak hal biasa menjadi luar biasa. Menghidupkan masjid, membangunkan perpustakaan dan kecintaan membaca pada anak-anak sekolah, mengenalkan IT, mengajarkan permainana-permainan termasuk permainan-permainan tradisional, mencontohkan kedisiplinan dan tanggung jawab, sekaligus mengembangkan kerelaan untuk berkorban. Saat kami datang semalam, Eko sedang bersiap menuju masjid, bersarung, berbaju takwa, berkopiah, begitu bersih dan teduh wajahnya. Wajah bersih dan teduhnya itu spontan berhias senyum berseri saat melihat sosok saya dan Bu Lusi. Dia mendapatkan kejutan yang sangat menggembirakan. "Bu Luthfi..." Teriaknya, meski saya masih di dalam mobil, dan sedang 'krengkel-krengkel' mencari jalan keluar. "Nggak nyangka Bu Luthfi datang ke sini..." Katanya. Dalam balutan hujan yang tak kunjung henti, di rumah kepala sekolah, saya bertanya pada Eko Sumargo. "Siapa yang sudah mengunjungimu di sini, Ko?" "Bapak dan Ibu saya, Bu...." "Oya?" Saya membayangkan, bapak dan ibu Eko pasti sudah menangis di tengah perjalanan sebelum mencapai Sukamade. Medan yang begitu berat pasti akan membuat beliau merasa trenyuh dan prihatin dengan tempat tugas anaknya yang ternyata begitu jauh dan terpencil. "Terus bagaimana komentar bapak ibu kamu, Ko?" "Ya....kata bapak ibu, hidup itu perjuangan, Le...." Saya tiba-tiba merasa sangat terharu. Saya menahan diri untuk tidak terbawa dalam keharuan karena merasakan perasaan sebagai orang tua. Seorang ibu yang sedang menghayati sebuah perjuangan anaknya untuk menggapai masa depan. Di sebuah tempat yang jauh dan terisolasi, di perkampungan kecil di tengah-tengah perkebunan yang sepi, tidak ada hiburan, tidak ada sinyal, listrik yang hanya menyala separo hari, dan segala kemudahan yang harus ditinggalkannya. Bergulat dengan anak-anak sekolah, mengajarinya membaca, menulis, dan mencintai kehidupan. Bergulat dengan orang-orang, mengajari mereka bagaimana seharusnya mengemban amanah dan tanggung jawab dengan penuh ketekunan dan keikhlasan. "Kalau boleh tahu, bapak ibu kerja di mana, Ko?" Lanjut saya. "Ibu saya jualan sayur di pasar, Bu. Bapak saya ngarit." Saya semakin terharu. Saya semakin kagum dengan sosok muda itu. Dia benar-benar sedang berjuang. Tidak hanya untuk masa depan dia. Namun juga masa depan keluarganya. Dan juga masa depan anak-anak bangsa di negeri kecil bernama Sukamade ini. Hujan deras semalam, membuat jalan-jalan dari penginapan menuju perkampungan basah di mana-mana. Di sepanjang jalan, anak-anak dan orang tua menyapa Eko. Eko membalasnya dengan senyum dan sapaan juga. Uniknya, para orang tua di Sukamade ini menggunakan Bahasa Madura, namun anak-anak mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan Bahasa Osing, karena mereka tidak berasal dari Suku Osing. Ada sejarah panjang mengapa para orang tua penduduk Sukamade ini berkomunikasi dengan Bahasa Madura. SDN 2 Sarongan, ada di tengah perkampungan kecil itu. Bukan sekolah yang jelek. Bangunannya bagus, cukup bagus. Kemarin Pak Zam bercerita kalau tahun yang lalu, dia bersama pak Ismaini, kepala sekolah, berjuang untuk mendapatkan bantuan rehab sekolah. Bupati dan kepala dinas pendidikan Kabupaten Banyuwangi sempat meninjau sekolah, sampai akhirnya bantuan itu diwujudkan. Pembangunan sekolah SD saat ini sudah selesai. Tinggal bangunan sekolah SMP yang masih belum direhab. Dua sekolah itu ada di satu kompleks, dan merupakan sekolah satu atap (satap). "Pak Eko, mau ke mana?" Tiba-tiba seseorang menyapa. Dari sebuah rumah, seseorang mendekat. Diikuti seorang lagi di belakangnya, ternyata Pak Zam. "Ini Pak Mukhid, Bu, guru SD Sarongan juga". Kata Eko mengenalkan Pak Mukhid pada kami. Pak Mukhid adalah pemuda asli Sukamade. Nenek moyangnya berasal dari daerah ini. Dialah sarjana pertama--dan sampai saat ini--satu-satunya sarjana yang dimiliki Sukamade. Sama dengan Pak Zam, dia alumnus Ponpes Blok Agung Darussalam dan IKIP PGRI Jember. Pak Mukhid dan Pak Zam mengajak kami menuju sungai, melewati jalan kecil di samping rumahnya. "Sungainya meluap, Bu. Banjir," kata Pak Mukhid, dengan logat Maduranya. "Lha terus? Kita gimana pulang nanti, Pak?" Tanya saya. "Ya, kita lihat nanti, Bu." Benar. Sungai di depan kami airnya penuh, mengalir deras melewati tanggul. Suaranya begemuruh. Sejauh mata memandang, yang ada adalah air dan air. Di depan sana, beberapa orang mencoba menyeberangi sungai yang kemarin kami lewati dengan mobil, dalamnya sekarang sudah mencapai leher orang dewasa. Mobil dan truk sudah tidak mungkin lagi menerobosnya. Sekitar tiga puluh menit kami berada di sungai. Menyaksikan anak-anak kecil bertelanjang yang ceria bermain air. Mereka begitu tidak peduli. Ada kegundahan yang melingkupi bapak ibu mereka. Hamparan tanaman kebun di sepanjang sungai itu tenggelam. Tumpukan hasil kebun yang kemarin baru dipanen hanyut terbawa air. Bahkan seekor sapi yang diikat di sebuah pohon dekat sungai mati karena tenggelam. "Kalau sudah seperti ini, sebagian anak sekolah tidak mungkin masuk, Bu. Rumah mereka ada di seberang sungai sana. Mereka nggak mungkin menyeberang. Terlalu berbahaya. Truk saja berhenti, tidak berani meneruskan perjalanan. Menunggu sampai banjir agak surut. Mungkin nanti siang, mungkin besok, mungkin lusa, atau bisa juga seminggu dua minggu lagi." Pak Zam menjelaskan. Saya termangu-mangu, menyadari bahwa saya tidak sedang di Sumba Timur atau di Papua, namun masalah yang saya lihat hampir sama. Akses jalan yang sangat memprihatinkan, dan menyebabkan terjadinya berbagai masalah, termasuk ancaman kelaparan. Tahun kemarin, akses jalan menuju Sukamade sempat terputus lebih dari dua minggu sementara persediaan makanan menipis. Tanaman kebun habis tersapu banjir dan anak-anak nyaris kelaparan. Dari sungai, kami kembali ke penginapan. Eko memisahkan diri dan mohon izin untuk bersiap-siap ke sekolah. Ditemani Pak Zam, kami naik mobil masuk ke perkebunan karet, mencari sinyal. Persediaan sinyal ada di bibir sungai, jaraknya sekitar satu kilometer dari penginapan. Beberapa orang sudah ada di sana, dengan tujuan yang sama. Di tempat itu, saya mengirim SMS pada Bu Yanti, sahabat saya di PPPG, juga pada Bu Suhartiningsih, Ketua Jurusan saya di PKK. "Bu Harti dan Bu Yanti, saat ini saya dan Bu Lusi sedang ada di Sukamade, di tempat yang ada sinyalnya. Jalan yang kemarin kami lewati sekarang terendam banjir. Mobil yang kemarin kami tumpangi tidak bisa lagi menerobos banjir. Kalau banjir agak surut, kami siang nanti pulang setelah dari sekolah, menumpang rakit dan naik sepeda motor. Semoga kondisi memungkinkan dan kami bisa kembali ke Surabaya dengan selamat. Mohon doanya....." Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015 Wassalam, LN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline