Lihat ke Halaman Asli

Fleksibilitas UUD 1945

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendapat yang menyatakan bahwa kegagalan Amendemen Kelima UUD 1945 pada tahun 2008 disebabkan oleh adanya beratnya persyaratan Pasal 37 UUD 1945 mungkin benar (Rafiuddin Munis Tamar, Jurnal Nasional, 23 Desember 2008), tetapi hal tersebut bisa dikatakan normal dan tidak membahayakan.

UUD 1945 merupakan konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia yang menjadi landasan utama pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang. Konsepsi konstitusi tersebut lahir dari konstitusionalisme, yaitu faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi dan meletakkan konstitusi sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan penyelenggara pemerintahan,. Oleh karenanya, perubahan konstitusi harus tetap mengacu kepada gagasan dasar konstitusionalime tersebut.

Prosedur perubahan konstitusi, berdasarkan teori ketatanegaraan dan praktek-praktek di dunia bisa dilakukan dengan cara: melalui sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya penetapan kuorum yang hadir dan jumlah minimum anggota legislatif yang menerimanya; melalui rakyat dengan referendum atau plebisit; melalui musyarawarah khusus (special convention); atau melalui persetujuan negara-negara bagian bagi negara federal (suara mayoritas dari seluruh unit negara pada negara federal).

UUD 1945 setelah perubahan menggunakan cara pertama. Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa usul perubahan pasal-pasal dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR.

Bila menggunakan klasifikasi C.F. Strong (Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, 1966), maka UUD 1945 setelah perubahan merupakan konstitusi bersifat kaku, tidak bersifat fleksibel karena prosedur perubahannya oleh institusi yang bukan pembuat undang-undang (Presiden dan DPR), serta dengan syarat-syarat khusus.

Bagaimana dengan konstitusi Indonesia sebelumnya? Konstitusi RIS (UUD 1949) yang memegang prinsip federalisme mensyaratkan perubahan 2/3 kehadiran anggota DPR/senat dan persetujuan 2/3 anggota yang hadir (Pasal 190). Akan tetapi, muncul “kegiatan politik” yang anti negara federal dan ingin kembali ke negara kesatuan, sehingga dihadirkan UUDS 1950. Konstitusi RIS hanya sempat berlaku di Indonesia dari 27 Desember 1949-17 Agustus 1950.

Menurut ketentuan pasal 140 UUD 1950, wewenang untuk mengubah UUD diberikan kepada suatu badan bernama Majelis Perubahan UUD yang terdiri dari anggota-anggota DPRS dan anggota-anggota KNIP yang tidak menjadi anggota DPRS. Dibutuhkan lebih dari setengah dari jumlah anggota sidang hadir dan disetujui jumlah suara terbanyak. Akan tetapi, dalam setiap pengambilan keputusannya, Konstituante tidak pernah mencapai kuorum, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Isi pokoknya adalah membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan kemudian mensyaratkan pengubahan UUD dengan sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR harus hadir dan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir. Persyaratan tersebut kemudian ditambah dengan persyaratan referendum berdasarkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1983 yang isi Pasal 2-nya berbunyi, “Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum.”

Akibat tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998, dilakukanlah Perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 oleh MPR dengan hanya menggunakan persyaratan kuorum semata. Perubahan tersebut mengesampingkan persyaratan referendum berdasarkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1983 yang ber-“polemik konstitusional” karena dianggap telah menggeser atau meniadakan Pasal 37 UUD 1945.

Dengan demikian, prosedur pengubahan pasal-pasal UUD 1945 setelah perubahan ternyata lebih fleksibel dari beberapa konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia (walaupun berdasarkan klasifikasi C. F. Strong tetap dikatakan kaku), bahkan lebih fleksibel dari usulan Komisi Konstitusi yang resmi bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif hasil Perubahan UUD1945.

Usulan Komisi Konstitusi memperberat persyaratan untuk mengubah UUD, dengan menaikkan kuorum sidang MPR menjadi 4/5 dan membutuhkan persetujuan 3/4 seluruh anggota (jadi bukan 50% ditambah satu anggota yang hadir saja). Selain itu, usul perubahan yang telah disetujui MPR dikembalikan kepada rakyat dan diputuskan melalui “referendum”. Komisi Konstitusi beranggapan adanya referendum tersebut dimaksudkan agar perubahan UUD 1945 yang akan datang dilakukan dengan cara yang lebih demokratis dan tidak terlalu “mudah” dilakukan MPR.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline