"Untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan kita butuh pembangunan agar mempermudah perekonomian, dengan begitu lapangan kerja akan semakin terbuka dan perekonomian masyarakat bisa sejahtera."
Keliling kota di tengah-tengah dingin yang membekap. "Hai, Garut!" Sapaku sambil menyisir setiap bangunan beton yang berdiri sepanjang jalan.
Tidak sampai 1 km dari Ramayana -- Mall (katanya) pertama yang berdiri di Garut serta lengkap di dalamnya bioskop dan cafe-cafe untuk hangout -- saya menemukan rumah-rumah bekas penggusuran.
Satu rumah itu cukup menarik, di dinding depan tertulis "Mereka pernah ada, tergusur untuk kemajuan kota" -- ah, apakah yang mereka maksud dengan kemajuan itu?
Ketika banyak orang sibuk bicara perpindahan ibu kota, pemadaman listrik ataupun polusi udara. Pembangunan di daerah terpencil justru sama sekali luput dari pemberitaan media, siapa juga yang mau melawan para investor besar itu.
Aku sendiri mulai membayangkan, imajinasi seperti apa yang dimiliki oleh mereka yang mengatasnamakan kemajuan itu?
Apakah mereka mengilustrasikan gedung-gedung bertingkat, rel kereta api, pabrik-pabrik atau seperti apa penampakan "maju" yang diagung-agungkan itu? Ketika polusi sudah mulai akut di Jakarta, para dermawan itu berbondong membeli mobil, katanya "alergi dengan asap".
Ketika udara semakin memanas dan tak ada resapan, dermawan itu sanggup membeli AC dan mendinginkan rumah serta perkantorannya. Sedangkan rakyat kecil? Boro-boro beli mobil dan AC, mereka terpaksa naik transportasi umum yang berjubel. Ah, Garut! Apakah kau mau seperti itu? Bisakah dingin ini tetap kurasakan esok? Atau berganti menjadi panas dan debu?
Di malam yang sama sebelum keliling kota, aku melihat Gubernur nongkrong di kedai yang sama denganku. Sambil bercakap-cakap terkait pembangunan, katanya Garut akan menjadi kota maju dengan lokasi-lokasi pariwisata.
Sambil melihat jalanan, kubayangkan nanti hotel-hotel berdiri mewah dan rumahku mungkin tinggal menunggu gilirannya untuk dipindahkan, bapak gubernur yang sungguh dermawan!