Lihat ke Halaman Asli

Luthfi Kenoya

Penikmat Senja dan Kopi

Intelektual atau Budak Intelektual?

Diperbarui: 18 September 2018   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagaimana mungkin fenomena acak, dimana masyarakat bertindak tanpa pertimbangan sistematis, dibaca oleh paradigma sistematis? Dan apa sebetulnya tugas akademisi itu? membaca fenomena atau justru membentuk dan merubah fenomena? Pertanyaan ini menyisakan konsekuensi nyata yang seringkali dinafikan. Pertama-tama, kita bisa melihat bahwa tindakan masyarakat akhir-akhir ini sulit dimengerti dengan satu atau dua teori. 

Yang terjadi di lapangan justru informasi tersebar luas dan terpotong-potong, media sosial mereproduksi informasi dengan cara pandang yang variatif, oleh karenanya tindakan individu berdasar pada potongan-potongan informasi yang mereka filter secara mandiri. Lantas mungkinkah sebuah teori mampu melihat pola pertimbangan individu dan masyarakat?

Kemudian, akademisi juga dihadapkan pada tuntutan sistematika scientific dalam memandang sebuah fenomena. Tanpa disadari memiliki konesekuensi opisisi biner atau kerapkali kita dengar seorang akademisi mencela dengan bahasa "logical fallacies". 

Artinya peran akademisi dalam hal ini adalah mengkonstruk cara berpikir masyarakat, ia membentuk fenomena atau jika boleh saya ungkapkan: akademisi mengkonstruk dan memilihara cara berpikir sciencetific, namun pemaksaan cara berpikir ini memicu ketidakseimbangan (disequillibrium). 

Ditengah perubahan tindakan masyarakat yang semakin abstrak atau hyperreality serta paradigma akademisi yang dikonstruk oleh kurikulum lembaga perguruan tinggi membuat jurang pemisah yang sangat jauh, wajar jika kemudian akademisi masih dilihat teralienasi dari hiruk-pikuk persoalan masyarakat. 

Hal tersebut terjadi karena teori-teori yang dilahirkan oleh mayoritas akademisi Indonesia khususnya tidak dimulai dari pembacaan fenomena yang kompleks, mereka memaksa cara pandang tertentu untuk melihat sebuah fenomena dan kemudian melakukan justifikasi pembenaran terhadap cara pandangnya. 

Sedangkan permasalahannya justru bertambah kompleks, akademisi yang berusaha membentuk masyarakat dengan teorinya, sedangkan masyarakat tidak membaca dan itu artinya tidak berpengaruh pada kesadaran khalayak, alhasil keduanya (akademisi dan masyarakat) justru berjalan terpisah.

Bahkan dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan teman, suatu ketika, saya sampaikan: mungkin saja dua disiplin ilmu seperti teknik dan politik bisa saling bertautan. Sontak pernyataan saya ditolak secara mentah-mentah, baik secara objek kajian, pendekatan maupun teori tidak ada yang pernah membahas hal tersebut. 

Kemudian saya sampaikan, bahwa "postmodernism yang hari ini sedang mengobrak-ngabrik teori besar, ilmu politik salah satunya, lahir dari inspirasi arsitektur yang berkembang memberikan corak paradigm baru bagi peradaban akhir-akhir ini". 

Saya sendiri tidak menafikan hal tersebut akan sangat menyulitkan tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya kajian interdisipliner semacam itu, mungkin cukup radikal, namun saya kira karena belum banyak pembahasan interdisipliner semacam itu bukan berarti membuat hal tersebut tidak mungkin atau "logical fallacies".

Pendidikan semacam itu, dengan serba kekakuannya, justru membuat kekeringan imajinasi dan hanya mengikuti teori besar sedangkan sulit untuk melampauinya. Wajar jika pemikir Indonesia sulit bersaing atau masuk dalam percakapan global, baik dalam sumbangsih teori baru atau pembaharuan teori. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline