(Seperti media pada umumnya, judul ini diambil untuk kesan kontroversi, adapun pemaknaannya dikembalikan pada pembaca)
..............
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan dunia hashtag yang membabi buta, media tidak lagi berperan sebagi "reporter" yang mewartakan sebuah kejadian. Lebih dari itu, media difungsikan sebagai alat hegemoni elit, pada saat yang sama mengkonstruk pemikiran khalayak (The Social Construction of Reality). Kita boleh saja bersuka cita atas perkembangan media sosial, bahkan akademisi merayakan media sosial sebagai perwujudan dari public sphare. Bagaimana dengan kau?
Mungkin inilah yang dinamakan fenomena besar, yang dilakukan oleh hampir populasi dunia, dimana umat manusia sedang bermigrasi besar-besar atau eksodus dari tanah realita menuju tanah baru yang disebut virtual. Migrasi tersebut disponsori oleh seluruh disiplin keilmuan, perselingkuhan banyak terjadi antar disiplin ilmu, kita bisa melihatnya dalam cara pandang khalayak mengenai sebuah fenomena, misalnya: "Asian Games Jakarta Palembang" sebagai sebuah momentum kompetisi olahraga namun diperbincangkan dalam kaitannya dengan Pilpres 2019, Olahraga dan Politik dalam waktu yang bersamaan.
See? Terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi, sajian utama panggung virtual (Agora) adalah manipulasi dan simulasi yang memungkinkan hadirnya indecibility (ketiadaan putusan) atau kemustahilan dalam memahami yang sebenarnya terjadi (the closure of metaphisics).
Yang lucu adalah masyarakat tanpa sadar dipaksa untuk menjadi budak dari "rasionalitas" yang mengesampingkan "empati" juga "simpatik". Elit penguasa mempropagandakan objektifitas, misalnya ada kalimat: "saya harap perdebatan Pilpres 2019 adalah perdebatan kerja dan karya, bukan sekedar wacana", kalimatnya indah nan halus bahkan terkesan intelek. Tapi bagaimana kita mengukur kerja dan karya dua individu, yang satu petahana yang punya jabatan dan yang satu belum? Apakah fair jika kita membandingkan Jokowi yang seorang Presiden dengan Prabowo yang belum jadi Presiden? Bukankah kepastiannya dapat diprediksi? Kalimat itu akan fair jika yang berhadapan adalah SBY dengan Jokowi atau Jokowi dengan Megawati. Bagi saya lucu dan tidak masuk akal sebetulnya, bukankah setiap yang baru datang menawarkan kemungkinan (probabilitas)? Maka justru menarik jika kita uji probabilitasnya, sedangkan yang lama kita evaluasi kinerjanya, bukan sebaliknya atau malah memaksakan satu tolak ukur saja.
Kalimat kedua yang menarik adalah saat kau memaksaku memilih satu calon atas dasar data, kau bilang dengan angkuh: "data menunjukkan bahwa Presiden Jokowi pantas 2 Periode". Ada yang menarik dari kisah data, disaat masyarakat tidak mengerti bagaimana data itu dibuat dan lembaga-lembaga riset mengemis Anggaran Negara justru data tidak pernah disajikan dari ruang kosong, sepertihalnya hukum tidak terlepas dari agenda politik elit yang dalam hal ini siapapun yang berkuasa memiliki potensi untuk menjadi neo-otoritarian. Disisi lain masyarakat menuntut data, sedangkan apa yang bisa didata atau dikalkulasikan? Yap, tentu saja pembangunan adalah yang paling jelas. Bahkan Fir'aun jauh lebih baik daripada rezim saat ini jika kita lihat data berdasarkan pembangunan infrastruktur. Tapi saya yakin akan banyak orang menolaknya. Kenapa?
Kenapa kita menolak menyamakan Rezim saat ini dengan fir'aun? Salah satunya karena emosi, atau kecintaan kita pada figur penguasa, dan ini tidak salah sama sekali. Justru kecintaan yang didalamnya terdapat empati dan simpati adalah yang seharusnya dirayakan. Saya orang pertama yang akan membela pilihan seseorang berdasarkan emosi atau subjektifitas, misalnya kau bilang, "aku pilih A karena secara fisik atau kedekataan". Karena nyatanya politisi atau media sosial yang berlagak objektif dan data itu justru merekalah yang sebenarnya tidak objektif, karena apa yang mereka katakan dan posting sebenarnya tak lebih karena kedekatan dengan figur tertentu atau mendapatkan keuntungan langsung.
Dan saya harus katakan bahwa politisi tidak lebih baik dari dukun sekalipun, sang dukun meminta pasien berkorban untuk tujuan abstrak sedangkan politisi dan elit meminta rakyat objektif hanya untuk tujuan individu mereka.
Jadi kenapa kita harus ikut dalam aturan permainan mereka?
Ketika kita dituntut rasional dalam memilih, hal ini justru memudahkan mereka untuk membaca pola pikir kita, karena rasionalitas memiliki sistematika baku dan itu artinya mereka bisa memprediksi kalkulasi pilihan kita bahkan merubahnya seenak mereka. Tapi bagaimana jika kita memilih lewat empati, simpatik, cinta atau perasaan-perasaan lain yang menyulitkan siapapun untuk mempermainkan kita?