"Pandemi covid-19 boleh membuat kita mati gaya, tapi tidak boleh membuat kita mati karya."
Berkenalan dengan Kompasiana bagaimana rasanya? Sebelum menjawab, saya mau bercerita dulu. Ada yang pernah merasakan jatuh cinta dan merasakan sensasinya saat sasaran yang dicintai melirik atau melihat? Deg-degan dan salah tingkah pasti jadi efek reaktif.
Efek kejut seperti itu merupakan hal biasa akibat getaran-getaran harapan untuk bisa dekat. Senyum tipis juga biasanya tersungging di pipi. Beda lagi kalau tidak suka, efeknya malah jadi ilfill. Nah, begitulah yang saya rasakan dulu saat masih mahasiswa dan ada target yang ingin di dekati. Semenjak itu pula saya harus pandai membaca kode-kode alamiah si target.
Bagaimana dengan Kompasiana? Walaupun bukan objek berbentuk manusia ternyata berhasil membuat deg-degan sebagaimana target yang berwujud manusia. Setumpuk pertanyaan muncul, gimana responsnya terhadap orang baru? Kira-kira dibaca tidak? Orang-orangnya gimana?
Selain pertanyaan-pertanyaan itu, rasa takut juga mendera. Proses mengunggah tulisan pertama kali harus berjuang dengan rasa takut, takut dibaca orang lain dan dikatakan jelek. Ibarat lagi kasmaran ngaca berkali-kali, dan-dan gak kelar-kelar, semua diperhatikan meskipun sampai bosan.
Ketika kencan pertama telah dilewati, leganya minta ampun dan serasa tanpa beban. Begitulah rasanya kencan pertama dan berikutnya adalah rindu ingin bersama lagi. Tulisan pun begitu, ketika di unggah pertama kali dan berhasil berasa plong tanpa beban. Berikutnya adalah keinginan untuk kenal lebih lanjut.
Melihat ada yang membaca senang bukan main. Vote inspiratif, menarik, bermanfaat dan lainnya apalagi komentar seperti sambutan hangat dari tuan rumah dan memberikan semangat untuk terus menulis. Silaturahmi pertama berjalan mulus, pertanda akan ada silaturahmi berikutnya.
Oh iya, sebenarnya, pertama kali kenal Kompasiana sekitar delapan bulan lalu. Akan tetapi, waktu itu masih menjadi anggota pasif. Artinya, hanya sedikit tulisan yang dikirim. Hal itu dikarenakan laptop yang sudah tidak bisa dioperasikan lagi dan jadulnya gawai saya. Mulai intens kembali sekitar dua hingga tiga bulan lalu, tepatnya awal-awal covid-19 menjamah Indonesia.
Semenjak dikeluarkannya kebijakan bekerja, belajar dan beribadah di rumah itulah nongkrong dan silaturahmi di Kompasiana semakin intensif. Tidak dirasa kebiasaan itu malah menjadi hobi baru yang mengasyikkan dan mendatangkan rezeki. Rezeki yang saya maksud tidak melulu soal uang. Apa saja itu?
Menambah pengetahuan dan teman baru. Ada satu ungkapan yang menarik "membaca tulisan seperti berdialog dengan penulisnya". Ketika saya membaca tulisan rekan-rekan kompasianer, saya seperti berdialog dengan yang memunyai tulisan. Efek secara psikologis hampir sama saja dengan tatap muka, kadang tersenyum, mengangguk setuju atau paham, dan kesal bila ada sesuatu yang pelik.
Silaturahmi kepada berbagai penulis dengan cara membaca tulisannya, membuat saya memahami beberapa pokok persoalan. Dengan memahami pokok persoalan tersebut maka bertambahlah pengetahuan saya ketika saya membaca setiap tulisan dari rekan-rekan kompasianer.