Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Lutfi

Tenaga pengajar dan penjual kopi

Menulis untuk Membaca

Diperbarui: 10 Mei 2020   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang mahasiswi sedang menulis | Sumber: iStockphoto/Jacob Ammentorp Lund via Kompas.com

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sepintas hasil penelitian Lukman Solihin (2019). Dalam penelitian tersebut disebutkan jika minat baca Indonesia tergolong rendah. 

Hasil penelitian tersebut seperti mengamini hasil PISA tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Hasil PISA tahun 2018 untuk membaca menunjukkan Indonesia berada di urutan 72 dari 78 negara dengan skor 371. Dengan begitu, terpaksa kita harus mengelus dada karena belum ada peningkatan hasil tes dan kemampuan membaca.

Untungnya tes PISA untuk kemampuan membaca  ditujukan kepada anak-anak usia 15 tahun. Artinya, usia tersebut adalah usia produktif dan masih sekolah. Kita dapat membayangkan jika itu ditujukan kepada orang dewasa dengan usia 30 tahun, bukan tidak mungkin hasil tesnya lebih rendah lagi. Sebab, orang dewasa biasanya sudah sibuk dengan pekerjaan daripada membaca.

Saya pribadi mengakui minat baca saya rendah. Buku-buku yang dibeli hanya menjadi tumpukan penghias rumah, sehingga bebepa rekan saya menyebut saya bibliomania. 

Membaca merupakan sesuatu yang mudah untuk diserukan tapi susah untuk dipraktikkan. Kalau pun dipraktikkan, istiqomahnya yang berat. Berbeda dengan yang memang sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian, akan merasa ada sesuatu yang kurang kalau tidak membaca.

Dalam membaca ada saja cobaannya. Cobaannya bisa datang dari diri sendiri dan dari luar. Cobaan dari diri sendiri seperti suka menunda, mata mengantuk, dan hilang mood membaca. 

Dari luar misalnya bullying teman seperti kutu buku dan sok rajin, ajakan teman untuk nongkrong, media sosial dan bermain gim. Akibatnya, rencana semula yang ingin membaca akhirnya pun gagal.

Ketidakbiasaan membaca berdampak pada keterampilan bahasa lainnya, yaitu menulis. Keterampilan yang satu ini menurut saya memang keterampilan yang paling sulit daripada tiga keterampilan bahasa lainnya. 

Perlu membaca berbagai jenis sumber bacaan dan diskusi dengan orang lain untuk menemukan ide dan menyusunnya ke dalam bentuk kalimat-kalimat.

Setelah kalimat-kalimat tersusun menjadi paragraf masalah tak lantas selesai, kadang harus berperang dengan rasa tidak percaya diri untuk dibaca orang lain. Bagi yang percaya diri, barangkali tinggal unggah saja. 

Namun, bagi yang tidak percaya diri bisa sampai satu hari bergelut dengan pikiran sendiri menentukan pilihan unggah atau tidak. Syukur kalau keputusannya diunggah, tetapi kurang beruntung yang memilih tidak diunggah karena hanya akan jadi simpanan pribadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline