Puisi? Siapa sih yang tak kenal puisi? Salah satu karya sastra ini selalu di dibahas dalam materi pelajaran sekolah. Selain itu puisi sering dilombakan dengan beragam jenis lomba seperti menulis puisi, baca puisi, dan musikalisasi puisi.
Saya? Sama dengan sebagian anak-anak lainnya, mulai mengenal puisi saat di bangku sekolah dasar. Mengenal puisi "Aku" karya Chairil Anwar juga di sekolah. Puisi tersebut seringkali dihadirkan sebagai contoh dan soal dalam buku pelajaran. Sampai saat ini pun puisi tersebut masih sering dibahas.
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, dari anak-anak, remaja hingga dewasa beberapa puisi lain telah saya baca, termasuk puisi rekan-rekan kompasianer. Puisi-puisi yang sangat menarik dan inspiratif yang kadang membuat saya iri dan bertanya bagaimana membuatnya.
Bagi rekan-rekan kompasianer yang telah saya baca puisinya, mohon maaf jika tak sempat meninggalkan jejak dengan menekan kata inspiratif, menarik atau pilihan lainnya. Biarlah saya menjadi pengagum diam-diam di antara pilihan jejak tersebut. Lagi pula buat apalagi jejak itu jika puisi yang tertulis telah membekas di sanubari.
Saya ingin sekali menulis puisi, tetapi terasa terbendung kefakiran imajinasi dan ketidakpercayaan diri. Akhirnya, beberapa tulisan saya lemparkan ke luar jendela berulang kali, meskipun kadang esoknya saya ambil lagi untuk dicermati dan dibuang lagi.
Baca juga: "Wate Ka Saho", Syair Kreatif ala Pemuda Aceh Bangunkan Warga Saat Sahur Tiba
Akibat masalah itu saya lebih memilih jalur lain yaitu ngoceh seadanya. Kata ngoceh saya pilih ketimbang menulis, karena mau disebut penulis masih jauh kertas dari pena. Saya sebut juga hanya ngoceh barangkali memeroleh pemakluman dari rekan pembaca yang baik hati manakala ada sesuatu yang kurang tepat.
Berangkat dari kata ngoceh itu, kali ini saya mau mengoceh puisi berdasarkan pengalaman. Jelasnya, pengalaman tahun 1990-an bersama teman saya, bukan secara umum. Perkara ada kesamaan cerita antara pengalaman pengoceh dan pembaca itu hanya sebatas kebetulan saja.
Syair cinta dan berdarah Arya Dwipangga
Bagi anak-anak tahun 1990-an yang menyukai sinetron laga atau kolosal tidak akan melewatkan Tutur Tinular sebagai tontonan. Tutur Tinular sebenarnya adalah sandiwara radio karya S.Tidjab yang kemudian diangkat ke layar lebar dan televisi.
Sebagai penikmat acara tersebut, ada satu tokoh yang saya sukai meskipun perannya antagonis yaitu tokoh Arya Dwipangga. Arya Dwipangga dalam sinetron tersebut merupakan kakak kandung Arya Kamandanu sebagai tokoh utama. Berbeda dengan adiknya yang sibuk berlatih dan jago dalam ilmu kanuragan, Arya Dwipangga justru sibuk dengan syair-syairnya.
Nari Ratih...
Kau adalah sebongkah batu karang
Tapi aku adalah angin yang sabar setia
Sampai langit di atas terbelah dua
Aku akan membelai namamu bagaikan bunga