Semua orang, yang sudah menikah atau yang belum menikah, bahkan yang sudah menikah tapi gagal (pernah bercerai) pasti bermimpi mempunyai keluarga yang bahagia, tentram, dan langgeng. Atau banyak orang menyebutnya sakinah mawaddah warahmah.
Lalu bagaimana dan apa sebenarnya rahasia agar sakinah mawadah warahmah itu menjadi warna dalam kehidupan pernikahan, sedangkan perselisihan, pertengkaran, dan hal-hal kecil yang menyebabkan putusnya pernikahan lebih pasti adanya?Berdasarkan data yang dikutip detik.com dari website Mahkamah Agung (MA), Pada hari Rabu tanggal 03 bulan April Tahun 2019, sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang Tahun 2018.
Gugat cerai menjadi angka paling banyak, yakni sebanyak 307.778 perempuan yang menggugat cerai, sedangkan cerai talak sebanyak 111.490 orang. Jumlah tersebut merupakan jumlah perceraian dari pasangan muslim, belum termasuk pasangan nonmuslim yang melayangkan surat gugatan atau permohonan perceraian di pengadilan Negeri.
Innaalillahi wa inna ilaihi roji'un, data tersebut bukan hanya ironis namun juga sangat menyedihkan. Berdasarkan data tersebut pula, seakan-akan pernikahan bukan lagi hal sakral seperti yang orang tua dan guru kita katakan.
Kenapa begitu? Karena kebanyakan dari pasangan suami istri memilih untuk bercerai dibandingkan menyelesaikan permasalahan mereka dengan kepala dingin. Bahkan pengalaman saya sewaktu di Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di Bangkalan memberikan saya sedikit ketakutan untuk menuju jenjang tersebut.
Kebanyakan orang yang meminta untuk dibuatkan surat permohonan ataupun surat gugatan cerai alasannya sangat remeh temeh, seperti tidak betah dirumah mertua, kurangnya uang belanja yang diberikan oleh suami, perbedaan pendapat, bahkan sangat sedikit sekali yang alasannya karena KDRT atau salah satu pihak tidak bisa menjalankan kewajibannya (sakit parah). Untungnya rekan saya yang lebih lama di sana menasihati saya untuk lebih berpikir luas dan mencari hikmah dari hal tersebut.
Salah satunya adalah dengan mengetahui alasan- alasan tersebut bisa mengingatkan kita. Saya pribadi untuk lebih hati- hati dan tidak terlalu menganggap serius permasalahan yang sebenarnya tidak serius dan masih bisa diselesaikan dengan kepala dingin, selain keputusan yang dibenci Allah itu setelah berumah tangga nanti.
Sadar akan hak dan kewajiban menjadi kunci dari langgengnya pernikahan. Kadang banyak yang sadar akan haknya namun kewajibannya mereka nafikan. Akibatnya, salah satu dari mereka hanya menuntut, merasa dialah satu-satunya yang menjadi korban. Contohnya sering sekali saya perhatikan di masyarakat desa saya, para istri pulang ke rumah orangtuanya dengan alasan ekonomi, padahal suami sudah banting tulang bekerja.
Memang benar menafkahi istri adalah kewajiban suami, tapi bukankah mentaati dan memahami suami merupakan kewajibannya? Dengan pergi meninggalkan suami dan tidak melayani keperluannya apakah masalah akan selesai? Tidak kan? Bahkan akan muncul masalah-masalah baru lainnya.
Tentang hak suami yang menjadi kewajiban istri, ataupun hak istri yang menjadi kewajiban suami bukankah Islam sudah mengatur dan menjelaskannya dengan sangat rinci. Ternyata lagi-lagi ilmulah yang berperan penting dalam hal ini. "Cari ilmunya dulu" menjadi dawuh guru saya yang saya benarkan sampai saat ini.
Menurut saya yang masih awam dan belum berpengalaman dalam kehidupan pernikahan, jika kedua belah pihak saling sadar akan hak dan kewajiban sebesar apapun masalahnya pasti bisa ditoleransi dan terselesaikan dengan baik. Bahkan pernyataan yang sama juga dikatakan oleh teman saya yang sudah menikmati asam garam dalam kehidupan pernikahan.