Saat saya menulis catatan ini, saya lagi menggunakan jurus kagebunsin (seribu bayangan) seperti dalam serial anime Naruto Shippuden. Bedanya, tubuh Naruto dapat menjadi banyak bahkan sampai seribu bunsin (bayangan). Sementara saya, pikiran yang banyak. Bunsin-bunsin pikiran saya terpetak-petak, ada yang mikirin hutang, mikirin jualan, mikirin bayaran paket indihome dan sebagainya.
Sama halnya dengan kagebunsin Naruto, kagebunsin pikiran saya tidak dapat bertahan lama, satu per satu menghilang. Akhirnya, setelah bosan dan saya menyeruput secangkir kopi, hanya ada satu pikiran yang tergeletak dan mengganggu, yaitu tentang status whatsapp.
Dalam status whatsapp, kita dapat melihat pelbagai bentuk lakon hidup rekanan kita. Mulai dari rumah (dapur, toilet, kamar, kamar mandi bahkan sumur), kantor, jalan, hingga tempat-tempat keramat pun yang katanya angker dapat kita lihat di status teman kita. Yang paling aneh sampai pada hal yang remeh-temeh dan kurang layak dipublish seperti belanja barang daleman semisal tank top dan kaus kutang pun ter-update disertai merk dan ukurannya. Kalau tidak dirinya sendiri, temannya yang akan mengunggah. Kita tidak perlu kepo lagi dengan urusan orang lain, tidak perlu silaturahim untuk mengetahuinya. Kita hanya perlu nimbrung di menu status.
Iya, kita sudah berkemajuan dalam banyak hal, mulai dari ditemukannya handphone sampai saat ini berwujud smartphone. Hadirnya benda keramat satu ini seolah telah menjadi tuhan baru setelah tuhan sembilan senti karangannya Taufik Ismail, menggantikan paso benggala Mak Lampir atau cermin ajaibnya Bahadur dalam sinetron laga Angling Darma.
Kedua alat itu terlalu lama untuk melihat keadaan dan butuh membaca mantra untuk mengoperasikan. Sementara itu, di status whatsapp tidak perlu menghafal apapun dan praktisnya dapat dilihat dimana dan kapanpun kita mau dengan segala kondisi.
Kegandrungan membuat status di aplikasi whatsapp kadang membuat lupa menakar konten yang layak edar atau tidak. Akhirnya, barang daleman pun ikut nongol dan bisa dilihat. Lalu sebenarnya inti dari update status itu? Jawabannya hanya satu, untuk eksistensi diri.
Updater ingin menunjukkan keberadaannya kalau lagi galau, senang, makan, minum, jalan-jalan, menunjukkan kebersamaan, jualan memiliki ini, memiliki itu dan seabrek status-status lainnya.
Coba saja lihat di cafe atau tempat makan, kadang lebih dulu gambar makanan di meja masuk ke status ketimbang berdoa dan makanan itu masuk ke dalam mulut, melintasi tenggorakan dan mabit di perut untuk sementara sebelum akhirnya di kakus.
Ada yang paling menjengkelkan dari update status di whatsapp menurut saya (yang lain terserah), yaitu mengukapkan kekesalan kepada orang lain karena disakiti atau tersinggung. Update begituan memang boleh, tapi yang perlu dipikirkan adalah bukankah hal itu justeru memperluas masalah dengan memberikan kebebasan orang lain untuk kepo dan turut campur. Iya kalau campurannya enak, jadi solusi, kalau tidak enak malah tambah keruh.
Saling update status kekesalan antara keduanya. Kemudian muncullah kubu-kubu pembela masing-masing dan tak ubahnya bidak catur yang lengkap dengan raja, setir, kuda sampai pada pion-pion pembela.
Yang lebih mengerikan lagi, Tuhan juga dilibatkan untuk konspirasi dalam unggahan status. Berdoa dan sumpah serapah agar Tuhan menimpakan ini-itu. Paling ringannya bentuk doa yang sering saya baca di status whatsapp "Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal".