Lihat ke Halaman Asli

Lutfil Hakim

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid

NU dan Elaborasi Budaya Bangsa

Diperbarui: 29 November 2022   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai banyak budaya, diantaranya mengenai budaya sopan santun, adat istiadat hingga sapa menyapa sudah menjadi salah satu bagian budaya bangsa Indonesia. Negara yang mempunyai umat muslim terbesar didunia ini tak lepas dari beragam organisasi agama, salah satunya organisasi islam. Indonesia mempunyai lebih dari 100 organisasi yang berdasarkan pada agama islam, salah satunya Organisasi Nadhlatul Ulama atau biasa disingkat dengan NU.

Nama Nahdlatul Ulama itu sendiri berasal dari bahasa arab, yakni nahdlatul yang berarti berdiri atau bergerak. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia yang merupakan ormas terbesar dengan menggunakan pendekatan kultural dalam mengembangkan dakwah Islamnya. Maka tidaklah heran NU sangatlah menghargai kebudayaan bangsa. Setiap organisasi tidak secara tiba tiba berdiri begitu saja tanpa adanya sebab. Kelahiran Nahdatul Ulama (NU) sebagai organisasi umat Islam di Indonesia tentunya merupakan organisasi bersejarah yang memiliki sejarah panjang dan penuh perjuangan di kalangan ulama. Proses lahirnya nahdlatul ulama (NU) berawal dari remaja pesantren yang sedang menimba ilmu di Makkah mendirikan cabang perhimpunan Syarikat islam di sana, seperti Wahab Chasbullah asal dari jombang jawa timur dan R.asnawi asal Kudus Jawa Tengah. Belum sempat mengembangkan syarikat Islam (SI) di Makkah mereka terlebih dahulu pulang ke rumah kelahiran karena pecah Perang Dunia pertama, faktor kepulangan mereka juga karena didasari oleh keinginan keluarga untuk menuntut ilmu serta mengembangkan islam di tanah air (Indonesia). Semangat jiwa nasionalisme para pemuda Indonesia dalam berjuang untuk mecapai kebebasan dari jajahan belenggu kolonial Belanda. Para kalangan pemuda hebat itu mendirikan Nahdlatul Whaton (kebangkitan tanah air), kemudian Taswirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran), kemudian koperasi Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).

Secara singkatnya, sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama berawal dari K.H. Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian jamiyah yang disampaikan langsung kepada  K.H. Hasyim Asari dengan tujuan untuk meminta persetujuan didirikannya jamiyah dari ulama Indonesia. K.H. Hasyim Asyari tidak serta merta menyetujuinya, dalam menentukan suatu keputusan apapun ulama sangatlah berhati hati dan bijak. KH. Hasyim Asyari kemudian melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dan benar benar mengkaji secara detail tentang organisasi yang diajukan oleh KH. Wahab Chasbullah. K.H Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari KH. Hasyim Asyari dan KH. Abdul Wahab Chasbullah, mendapatkan petunjuk untuk mengambil keputusan, dari petunjuk gurunya tersebut akhirnya organisasi NU didirikan. Nahdlatul Ulama (NU) resmi didirikan pada tanggal 31 Januari tahun 1926, di Surabaya.

Dalam melaksanakan program kerjanya, organisasi Nadhlatullama ini menggunakan salah satu bentuk tahapan yaitu elaborasi sebagai metodenya. Elaborasi merupakan salah satu tahapan metode pembelajaran yang kian populer digunakan organisasi untuk para kader NU. Kader NU sendiri merupakan orang-orang yang dikumpulkan, dibina, dididik oleh organisasi NU. Proses pembelajaran dengan metode ini harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, dan memotivasi. Dengan begitu, para kader NU mampu berpartisipasi secara aktif, serta memberikan kesempatan untuk menggali kreativitasnya dalam melastarikan nilai-nilai budaya bangsa.

Tradisi dan budaya lokal bangsa indonesia sangat berpengaruh dalam penyebaran ajaran islam. Penyebaran melalui budayalah yang membuat islam mudah diterima oleh masyarakat pribumi. Meski islam sudah tersebar, peran budaya tidak hilang setelah suksesnya penyebaran islam. Bertahanya agama islam justru karena adanya akulturasi antara budaya dan agama. Pada saat itu walisongo berasumsi pada masyarakat yang menyembah pada agama kapitayen dan memiliki banyak kemiripan baik dari segi tata cara ibadahnya maupun persembahannya. Walisongo memutuskan untuk mengembangkan islam melalui kebudayaan. Itu sebabnnya walisongo tidak memakai istilah-istilah keislaman seperti ibadah disebut dengan sembahyang, tempat ibadah masjid atau mushola disebut langgar.

Masduki Baidlowi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, mengatakan dakwah harus selalu dilakukan dengan bijak, termasuk pertimbangan budaya saat berdakwah, karena budaya tidak serta merta bertentangan dengan agama. Sebaliknya, budaya selalu bisa menjadi alat untuk mengimplementasikan keyakinan agama, membuatnya lebih tulus. Dalam pandangan fikih, bahkan tradisi atau budaya dapat menjadi sumber hukum Islam Dengan demikian, penganut agama Islam sebagai penganut mayoritas masyakarat Indonesia mesti mengapresiasi dan mengafirmasi kebudayaan dan tradisi masyarakat. Elaborasi yang dilakukan NU dalam melestarikan budaya menghasilkan banyak sekali keuntungan yang didapatkan para kader NU dalam tahap elaborasi, salah satunya memiliki kecintaan yang loyal terhadap budaya islami.

Masyarakat yang telah menerima ajaran islam diberikan pemahaman oleh organisasi NU untuk mengintegrasikannya dan memadukan ajaran islam dengan tradisi. Bentuk perpaduan ini merupakan suatu integrasi yang utuh dan tak terpisahkan serta membentuk identitas keagamaan mereka. Oleh karenanya, NU dengan prinsip tasamuh, tawassuth dan tawazun serta dilahirkan nya saptawikrama, membuat organisasi NU ini menjaga Indonesia khususnya budaya bangsa,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline