Lihat ke Halaman Asli

M. Lutfi Hamid

Founder LutfiHamid.com

Sulitnya Melupakan Meski Sudah Memaafkan: Antara Luka dan Pertumbuhan

Diperbarui: 21 Agustus 2024   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada momen-momen dalam hidup yang tak mudah dilupakan. Kita seringkali berkata, “Aku memaafkanmu,” namun dalam hati kecil kita, luka itu masih terasa. Luka yang mungkin kecil bagi orang lain, tetapi begitu dalam bagi kita. Begitu pula yang kurasakan saat ini—perasaan yang menggantung di antara memaafkan dan melupakan.

Malam itu, aku duduk di sudut kamar, merenung tentang kejadian yang baru saja terjadi. Temanku, orang yang selama ini kukira paling bisa kuandalkan, melakukan sesuatu yang tak pernah kuduga. Aku memaafkannya, tentu saja, karena itulah yang kupikir harus dilakukan. Tapi entah kenapa, bayang-bayang kejadian itu terus menghantuiku. Setiap kali wajahnya muncul di pikiranku, rasa sakit itu kembali terasa. Bukan dendam yang menguasai, melainkan kekecewaan yang tak bisa hilang begitu saja.

Mengapa Kita Mudah Memaafkan Tapi Sulit Melupakan?

Memaafkan adalah hal yang sering kita lakukan sebagai manusia. Ketika seseorang menyakiti kita, baik secara sengaja atau tidak, kita diajarkan untuk memaafkan. Memaafkan dianggap sebagai perbuatan mulia, tanda kebesaran hati, dan cara untuk meredakan konflik. Namun, apa yang sebenarnya terjadi ketika kita memaafkan tetapi tak bisa melupakan?

Memaafkan kadang menjadi pilihan termudah untuk menjaga harmoni, baik dalam hubungan pertemanan, keluarga, atau cinta. Kita tahu bahwa memendam kemarahan atau kebencian hanya akan merusak diri kita sendiri. Namun, memaafkan bukan berarti luka itu hilang begitu saja. Luka tersebut tetap ada, terkubur dalam memori kita, dan muncul di saat-saat tak terduga.

Seiring waktu, kita menyadari bahwa melupakan tak semudah memaafkan. Melupakan berarti membiarkan memori itu memudar, menghapusnya dari ingatan kita, sesuatu yang jauh lebih sulit dilakukan daripada sekadar mengucapkan kata "maaf". Rasa sakit itu seolah-olah menjadi bagian dari kita, menjadi pengingat akan kelemahan dan kerapuhan kita.

Forgive But Not Forget: Sebuah Bentuk Perlindungan Diri

Memaafkan tanpa melupakan sering kali dianggap sebagai bentuk perlindungan diri. Ketika seseorang menyakiti kita, rasa sakit yang kita rasakan mendorong kita untuk memaafkan agar tidak hidup dalam kemarahan. Namun, melupakan adalah hal yang lain. Melupakan bisa berarti kita membiarkan diri kita rentan terhadap rasa sakit yang sama di masa depan. Kita tetap mengingat untuk berjaga-jaga, agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.

Dalam banyak kasus, memaafkan tanpa melupakan juga merupakan tanda bahwa kita masih memproses rasa sakit tersebut. Kita mungkin telah melepaskan dendam, tetapi hati kita masih menyimpan memori itu sebagai pelajaran. Ketika kita berkata "Aku memaafkanmu, tapi aku tak bisa melupakan," kita sebenarnya sedang berkata pada diri sendiri, "Aku telah melewati ini, tapi aku tak ingin mengalami hal ini lagi."

Pengalaman Pribadi: Luka yang Tak Mudah Hilang

Ada satu kejadian yang selalu terlintas di pikiranku ketika berbicara tentang memaafkan dan melupakan. Seorang sahabat yang begitu dekat, yang kuberikan kepercayaan sepenuhnya, tiba-tiba melakukan sesuatu yang menghancurkan hatiku. Ketika semua terungkap, aku terjebak di antara dua pilihan: mengakhiri hubungan atau mencoba memaafkan dan melanjutkan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline