Lihat ke Halaman Asli

Cerita Dari Ruang Tunggu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada hal-hal yang aku tunggu setiap jadwal kontrol. Selain hasil scanning, juga cerita-cerita dari sesama pasien ketika kita ngobrol antri di ruang tunggu.  Terus terang aku sangat menikmati kegiatan sharing itu, berbagi pengalaman dan saling menyemangati.

Padahal ruang tunggu disiapkan dengan sangat nyaman, mungkin karena sakit jadi pengennya cepet istirahat. Coba lihat ruang tunggu nya.

Ruangannya sangat bersih, ber AC. Kursi bersih tertata dengan apik, lengkap dengan air minum gelasan dibeberapa sudut ruangan. Mau baca Koran, ada beberapa Koran yang diatur rapi. Meskipun ga ada wifi, tapi colokan listrik dimana-mana. Jadi tidak hanya bisa online via laptop yang kita bawa, bisa online pake hp tanpa khawatir untuk ngecharge hp. Kamar kecil dan musholla sangat bersih. Sekarang malah ada kantin kecil dibelakang gedung, jadi kalau kelaparan ga perlu keluar buat beli makanan. Sangat nyaman.

Toh aku masih melihat ada beberapa teman yang kurang nyaman untuk antri, mungkin karena sakit jadi pengennya istirahat.

Tapi itulah perjuangan atau ikhtiar kita untuk sembuh.

sholat dan sabar.

Sabar antri, sabar menahan sakit, sabar gak sembuh-sembuh sabar terus.

Dari ruang tunggu inilah banyak cerita dari teman-teman, buat aku sangat meringankan sakitku. Dibanding mereka, aku merasa sakitku gak ada artinya. Sangat inspiratif.

Salah satunya cerita dari bu Ira tentang putranya Wahyu yang menderita tumor otak dalam usia anak-anak.  Demikian penuturan beliau yang saya tulis.

Anak saya bernama Ekhsan Wahyu Wulan Suciadi, yang lebih dikenal dengan nama Wahyu.  Lahir di Jakarta pada tanggal 7 Juni 1984 tepat bulan suci Ramadhan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Wahyu merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Adi Siswanto (Adi 58 tahun) dan Wagirah (Ira 54 tahun). Dalam proses persalinannya, Wahyu dilahirkan secara normal, dengan berat 3,8 kg dan  panjang  51 Cm.

Sebagaimana anak seusianya, sejak lahir hingga usia delapan tahun, dia tumbuh sehat dan hampir tidak pernah sakit parah bahkan tidak ada keluhan atau kelainan apapun. Ia merupakan anak yang aktif, cerdas dan supel. Dalam perjalanan usia ke 8 tahun, Wahyu sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar Islam swasta di Ciledug dan selalu mendapat peringkat. Berawal dari kekhawatiran saya, karena merasa ada perubahan pada kondisi Wahyu dengan mengeluh pusing dan sering mual. Bahkan pada beberapa kesempatan sebelum berangkat sekolah, tepatnya tahun 1992, ketika Wahyu sedang saya suapi mengalami muntah-muntah dan merasakan pusing yang berlebihan. Kami kira ada gangguan pada matanya.

Selang beberapa hari saya memeriksakan Wahyu ke dokter mata di rumah sakit terdekat, menurut penjelasan dokter tidak ada kelainan pada mata Wahyu dan menyarankan untuk periksa lanjutan ke dokter saraf. Tanpa berpikir panjang saya langsung membawa Wahyu periksa ke dokter saraf di rumah sakit yang sama. Dari hasil pemeriksaan sementara, dokter ahli saraf pun menyarankan supaya segera dilakukan CT Scan untuk melihat bagian dalam kepala Wahyu.

Setelah hasil CT Scan dibaca oleh dokter yang saat itu praktek, dokterpun memberi isyarat bahwa Wahyu dan Ayahnya diminta keluar ruang periksa terlebih dahulu, kemudian dokter menjelaskan bahwa syaraf di kepala Wahyu “Acak-acakan” itulah penyebab Wahyu sering mengeluh pusing dan mual. Saat itu dokter langsung membuat memo kecil yang isinya bahwa saya segera diminta membawa Wahyu ke rumah sakit yang lebih besar di Jakarta untuk langsung periksa ke bagian bedah syaraf.

Berdasarkan penjelasan dokter, saya langsung membawa Wahyu ke rumah sakit ke bagian bedah syaraf keesokan harinya. Selama dua hari dilakukan diagnosa, atas persetujuan saya dan suami maka tindakan operasi kepala Wahyu pun dilakukan, dengan tujuan mamasang VP Shunt di bagian belakang kepalanya untuk mengelola hydrochepalus setelah itu dilanjutkan dengan radiasi atau penyinaran selama satu bulan.

Setelah dilakukan treatment operasi dan radiasi, pemulihan Wahyu memakan waktu kurang lebih satu tahun hingga Wahyu dapat beraktifitas normal dan dapat melanjutkan sekolahnya yang sempat tertinggal selama satu tahun. Tidak ada keluhan ataupun kelainan pada Wahyu pasca operasi tersebut.

Oktober 1997 sepulang sekolah tangan dan kaki bagian kiri Wahyu mulai lemah, tangannya agak sulit untuk digerakkan dan dikontrol. Kaki pun terasa lemas pada saat itu, saya melakukan konsultasi kepada dokter saraf sebelumnya, kemudian dilakukan CT Scan untuk memastikan tindakan yang akan dilakukan. Dari hasil CT Scan diperoleh kesimpulan bahwa VP Shunt pada bagian belakang kepala Wahyu macet dan harus dilakukan revisi pada VP Shunt tersebut. Operasi revisi pun dilakukan dan berjalan dengan lancar tanpa kendala, kemudian Wahyu menjalani perawatan selama kurang lebih satu tahun hingga benar-benar kondisinya pulih.

Sedikit lucu ceritanya, pada tahun 1999 saat Wahyu ingin adzan di masjid dekat rumah pada saat itu Wahyu berebut microphone dengan muadzin masjid. Pada saat berebut microphone, tanpa sengaja saat mengangkat kepalanya terbentur podium Imam yang terbuat dari kayu dan seketika itu tubuh Wahyu tidak bisa digerakkan dalam beberapa saat.

“Entah cobaan apa lagi yang akan Engkau berikan, hanya ketabahan dan kesabaran yang bisa aku lakukan.” Ucap saya dalam hati pada saat itu.

Secepatnya Wahyu saya bawa ke rumah sakit untuk diperiksakan, tapi rumah sakit yang berbeda dengan sebelumnya. Baru pada tahun itu saya mengetahui bahwa anak saya menderita tumor otak.  Itu pun setelah dijelaskan oleh profesor, berbeda sekali dengan penjelasan dokter sebelumnya. Profesor dimaksud menjelaskan lebih detil bahwa harus ada operasi untuk pengangkatan tumor dibagian otak Wahyu setelah melakukan CT Scan dan MRI.

Operasi untuk ketiga kalinya dilakukan, kali ini untuk pengangkatan massa tumor. Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar meskipun massa tumor tidak bisa diangkat secara keseluruhan karena terlalu  beresiko tutur tim dokter pada saat itu.  Butuh waktu satu tahun lagi untuk pemulihan Wahyu.

Setelah operasi pengangkatan massa tumor, mata Wahyu pun menjadi juling (strabismus), keseimbangan tubuh menjadi tidak sempurna hanya memori yang masih sempurna.  Pada saat itu saya berinisiatif memondokkan Wahyu untuk belajar agama di salah satu pesantren di Jawatimur, dikarenakan sekolah Wahyu yang tertunda. Wahyu pun banyak belajar, mulai dari ilmu pengetahuan umum, sampai belajar membaca  Alquran.

Hampir tiga tahun lamanya Wahyu saya titipkan di pesantren, saat saya sedang bekerja tepatnya pada saat jam makan siang, saya mendapat telepon dari salah satu ustadz yang membimbing Wahyu bahwa Wahyu ingin pulang karena tidak dapat mengikuti pelajaran secara maksimal.

Wahyupun saya jemput untuk kembali ke Tangerang, kondisinya semakin memprihatinkan, keseimbangannya jauh berkurang dari sebelumnya. Selama Wahyu tinggal bersama saya dan keluarga di Tangerang, kesehatannya pun terus mengalami penurunan, khususnya kondisi keseimbangan tubuhnya bahkan matanya. Atas persetujuan keluarga sayapun memeriksakan Wahyu ke Prof yang mengoperasi tumor di kepala Wahyu. Tahapannya pun masih sama, dilakukan MRI pada Wahyu, cek darah lengkap dan lagi-lagi dilakukan operasi. Operasi kali ini selain pengangkatan tumor juga dilakukan pemasangan VP Shunt baru pada bagian depan untuk mengelola hydrochepalus, selain itu juga dilakukan radiasi selama satu bulan.

“Entah berapa biaya yang sudah kami keluarkan untuk pengobatan Wahyu, sampai saya tak  mampu menghitungnya”.

Kondisinya belum pulih benar saat itu, ditengah kebosanan karena harus memakan obat yang begitu banyak, Wahyu berseloroh dan bicara bahwa dia ingin menunaikan Ibadah Haji. Alhamdulillah atas kebesaran Allah SWT yang telah memberikan rezeki kepada kami sekeluarga, berangkatlah saya dan Wahyu ke Tanah Suci pada tahun 2002. Sementara suami saya mengalah untuk menunda dulu keinginannya menunaikan Ibadah Haji, karena biaya yang belum mencukupi jika kami berangkat bertiga. Saya memang sudah sejak lama berniat menunaikan Haji bersama Wahyu dan Ayahnya. Selama di Tanah Suci Mekkah kami dibantu oleh Muthowif (jasa petugas haji di Mekkah dan Madinah) khususnya membantu Wahyu karena jalannya pun masih goyang dan limbung serta pendengarannya pun berkurang pasca operasi yang keempat. Saya tuntun pelan-pelan untuk mengitari Ka’bah, bersama dengan Muthowif tersebut. Saya dan Wahyu berdoa untuk kesembuhannya dan untuk kebaikan keluarga  kami  nantinya.

Hingga pada tahun 2003 karena kondisi Wahyu yang terus-menerus menurun maka harus dilakukan operasi yang kelima pada Wahyu, sejak saat itu kondisinya semakin memburuk, tidak menunjukkan adanya perbaikan. Kejadian yang sangat mengejutkan tepatnya tanggal 19 September 2005, Wahyu sudah benar-benar tidak bisa mendengar karena terjatuh dan terbentur dengan tembok. Komunikasi pun berubah, yang semula percakapan menjadi tanya jawab dengan media tulisan, pertanyaan yang saya ajukan semuanya dengan isyarat dan tulisan.

Cobaan belum berhenti disitu, masih ditahun yang sama Wahyu koma (hilangnya kesadaran) selama 6 bulan, 1 bulan di rumah sakit dan 5 bulan dirumah. Untuk makan sehari-hari dipasang Sonde melalui hidungnya. Semua saya lakukan sendiri dibantu seorang pembantu yang menemani kami, mulai dari member makan lewat sonde, memberi obat cair, sampai membersihkan kotoran. Tidak ada perawat yang mau dan sanggup merawat Wahyu, karena kondisinya seperti mayat hidup, pada saat itu semua menolak untuk merawat Wahyu. Sedangkan bila harus dirawat terus di rumah sakit, kami sudah tidak punya biaya untuk membayarnya.

Semua saran dari beberapa teman dan keluarga, obat-obatan herbal, terapi, suplemen dari segala macam MLM (multi level marketing) ataupun pengobatan supranatural semua dijalani, namun belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Kondisinya sangat memprihatinkan, perutnya sangat besar bahkan lebih besar dari bagian apapun dari tubuhnya. Hal tersebut disebabkan BAB (buang air besar) harus dibantu dengan microlax setiap harinya. BAB nya pun tidak rutin, bisa sampai dua minggu sekali. Hingga saya mencoba teh herbal pada saat itu, saya memberikannya sebanyak 3 kali dalam sehari dan hasil yang luar biasa didapatkan, Wahyu BAB sangat banyak dan buang angin secara terus menerus.  Selang beberapa hari perut Wahyu berangsur mengecil.

Tahun 2005 sampai 2007 Wahyu saya rawat di rumah, berbaring selama itu membuat Wahyu terserang decubitus dikarenakan minimnya mobilitas (kurang bergerak), aktifitas yang dilakukan hanya berbaring dan duduk dikursi roda, sesekali berjalan dengan bantuan 2 orang pendamping yang merawatnya dan itu berlangsung hingga tahun 2013 dan kondisinya belum mengalami perubahan yang berarti.

Pada bulan September 2013 Wahyu mengalami kejang dan tidak sadar, dan saya harus segera membawanya ke RSU (rumah sakit umum), karena kami pakai fasilitas Multiguna oleh dokter yang mengoperasi Wahyu untuk melakukan operasi revisi VP Shunt untuk mengelola hydrochepalus pun kembali diperbaiki kali ini bukan bagian kepalanya yang dioperasi, namun dibagian perut  sebelah kanan.

Atas kemurahan Allah SWT, ditengah obrolan saya dengan teman-teman di kantor, pada bulan awal Oktober 2013 salah seorang teman Liena Kartiningsih namanya, memberi informasi bahwa ada terapi Kanker dengan alat listrik begitu tuturnya, tempatnya di Alam Sutera. Spontan setelah saya mendengar info itu, saya dibantu browsing oleh Ibu Liena mendapat nomor telepon Klinik Kanker yang dimaksud. Rupanya tak semudah saya bayangkan untuk segera mendapat info itu langsung dari Klinik tersebut. Mulai pukul 10.30 WIB saya menghubungi, ternyata line (jaringan) tersebut sangat sibuk dan baru  pukul 15.30 WIB saya berhasil mendapat info tentang klinik tersebut.

Setelah Wahyu menjalani terapi gelombang elektrostatis kurang lebih selama 3 bulan, kondisinya mulai membaik yang ditandai bahwa Wahyu bisa menelan ludahnya saat tidur malam. Wahyu sejak tahun 2010, memang ada luka dibagian kepala sebelah kirinya diatas telinga, luka tersebut diakibatkan karena ada tahi lalat yang digaruk-garuk, kemudian menjadi luka dan tidak bisa kering dan sering berdarah. Pada tanggal 27 Januari 2014, saya membawa Wahyu ke rumah sakit dan  menanyakan perihal luka tersebut kepada Prof yang mengoperasi tumor Wahyu.  Prof menyarankan untuk dilakukan MRI guna melihat bagian dalam kepala Wahyu dan tindakan yang harus dilakukan. Pukul 22.00 WIB malam itu hasil MRI telah selesai dan saya pun kembali menghadap Prof untuk minta penjelasan. Oleh Prof tersebut dijelaskan bahwa terjadi perdarahan di kepala bagian kiri. Namun hal yang sangat membuat saya agak lega bahwa beliau menyatakan berdasarkan hasil MRI pada 27 Januari 2014, cairan (Hydrochepalus) di kepala Wahyu berkurang drastis.

Sujud syukur serta puji-pujian tak henti-hentinya saya haturkan ke Sang Pencipta Allah SWT, kondisi saat ini belum ada perbaikan dalam keseimbangannya, hanya motorik Wahyu yang sedikit membaik, serta beberapa respon. Untuk menjaga stamina dan kondisinya saya secara rutin member asupan nutrisi dengan konsumsi Bekatul, Vitamin C, Air Kelala Hijau, Sayuran, dan Putih Telur, Susu, serta madu.  Atas kepedulian dan bantuan semua pihak, kami mengucapkan terima kasih. Besar harapan kami sekeluarga semoga Allah SWT memberikan kesembuhan yang terbaik bagi Wahyu, sehingga kondisinya semakin membaik.  Aamiin Aamiin Ya Robbal Alamiin.

.

Hamba yang berharap :  Wagirah (Ira)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline