Lihat ke Halaman Asli

Lutfi Hilmi

Mahasiswa S1

Behaviorisme: Asumsi Dasar dalam Memahami Perilaku Manusia

Diperbarui: 28 September 2024   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Behaviorisme adalah salah satu pendekatan psikologi yang paling berpengaruh di abad ke-20. Dikenal sebagai aliran yang menekankan pada pengamatan perilaku yang tampak, behaviorisme muncul sebagai respons terhadap pendekatan introspektif yang dianggap kurang ilmiah dalam memahami pikiran manusia. Para behavioris menolak ide bahwa fenomena mental internal seperti pikiran atau emosi dapat menjadi objek kajian ilmiah karena tidak dapat diukur secara langsung. Sebaliknya, mereka lebih memilih fokus pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Tokoh-tokoh seperti John B. Watson dan B.F. Skinner telah mengembangkan prinsip-prinsip dasar dari aliran ini, yang kemudian menjadi fondasi dari berbagai teori pembelajaran.

1. Manusia sebagai Produk Lingkungan

Salah satu asumsi dasar behaviorisme adalah bahwa perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan. Ini berakar pada keyakinan bahwa semua tindakan manusia, baik yang sederhana maupun kompleks, merupakan hasil dari interaksi dengan rangsangan dari luar. Dalam hal ini, behavioris menolak gagasan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Menurut mereka, setiap tindakan atau respons adalah hasil dari stimulus tertentu yang memicu perilaku tersebut.

Watson, misalnya, terkenal dengan eksperimen "Little Albert" di mana ia menunjukkan bahwa anak kecil dapat dikondisikan untuk takut pada objek yang sebelumnya netral, seperti tikus putih. Melalui paparan berulang terhadap rangsangan yang menakutkan (bunyi keras) bersamaan dengan penampakan tikus, anak tersebut belajar mengasosiasikan tikus dengan rasa takut. Ini menunjukkan bahwa perilaku dapat dimodifikasi berdasarkan pengalaman dan bahwa lingkungan memegang peran sentral dalam membentuk respons perilaku.

2. Pembelajaran melalui Pengkondisian

Dalam behaviorisme, pembelajaran dijelaskan melalui dua mekanisme utama: pengkondisian klasik dan pengkondisian operan. Keduanya menyoroti bagaimana perilaku dapat dipelajari atau diubah melalui asosiasi atau konsekuensi dari tindakan.

Pengkondisian Klasik adalah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Ivan Pavlov. Ia menemukan bahwa anjing dapat belajar untuk mengasosiasikan bunyi lonceng (stimulus netral) dengan makanan (stimulus tak bersyarat), sehingga anjing tersebut akan mulai mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar lonceng. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku tertentu dapat dipelajari melalui proses asosiasi berulang antara dua stimulus. Dalam konteks manusia, ini dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi, seperti bagaimana kita mengasosiasikan suara alarm dengan waktu bangun, atau lampu hijau dengan izin untuk melintas.

Pengkondisian Operan dikembangkan oleh B.F. Skinner, yang menekankan pentingnya konsekuensi dari tindakan dalam mempengaruhi perilaku. Konsep utama dalam pengkondisian operan adalah reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman). Skinner menunjukkan bahwa perilaku yang diikuti oleh konsekuensi positif cenderung akan berulang, sedangkan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif cenderung berkurang. Ini sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, jika seorang anak diberi hadiah karena merapikan kamar, ia akan lebih mungkin untuk mengulangi perilaku tersebut di masa depan. Sebaliknya, jika ia dimarahi setiap kali membuat keributan, maka kemungkinan besar ia akan

3. Generalisasi dan Diskriminasi

Salah satu konsep penting dalam behaviorisme adalah generalisasi dan diskriminasi. Generalisasi terjadi ketika respons yang telah dipelajari terhadap suatu stimulus tertentu diterapkan pada stimulus yang mirip. Misalnya, seseorang yang pernah digigit oleh seekor anjing mungkin akan merasa takut pada semua anjing, bukan hanya anjing yang menggigitnya. Ini menunjukkan bahwa perilaku yang dipelajari dalam satu konteks dapat meluas ke situasi lain yang serupa.

Di sisi lain, diskriminasi mengacu pada kemampuan individu untuk membedakan antara stimulus yang mirip tetapi tidak identik, sehingga respons yang telah dipelajari tidak terjadi pada stimulus lain. Misalnya, seorang anak yang belajar bahwa bel rumah tetangganya tidak memerlukan respons yang sama dengan bel rumahnya sendiri sedang melakukan diskriminasi. Kedua prinsip ini menggambarkan fleksibilitas dalam bagaimana kita memproses dan merespons lingkungan kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline