Masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959) merupakan periode yang sangat dinamis dalam sejarah politik dan sosial bangsa. Di tengah sistem multipartai yang berkembang pesat, pers berperan strategis sebagai alat komunikasi, propaganda, dan kontrol sosial.
Harian Rakjat adalah salah satu surat kabar yang paling berpengaruh pada masa Demokrasi Liberal. Didirikan pada 31 Januari 1951, surat kabar ini merupakan corong resmi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan motto "Suaranya Kaum Tertindas," Harian Rakjat secara konsisten menyuarakan kepentingan buruh, petani, dan kaum proletar. Surat kabar ini menampilkan berita-berita yang mengangkat isu ketimpangan sosial, perjuangan kelas, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Kekuatan Harian Rakjat terletak pada kemampuannya memobilisasi massa melalui tulisan-tulisan yang provokatif dan ideologis. Dalam setiap edisi, Harian Rakjat tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga mengarahkan opini publik untuk mendukung perjuangan PKI. Peran Harian Rakjat sangat terasa dalam berbagai peristiwa politik, termasuk Pemilu 1955, di mana surat kabar ini menjadi media propaganda utama bagi PKI.
Berbeda dengan Harian Rakjat, Suluh Indonesia adalah surat kabar yang menjadi corong resmi Partai Nasional Indonesia (PNI). Surat kabar ini didirikan dengan tujuan mendukung perjuangan PNI dalam membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Fokus utama Suluh Indonesia adalah menyuarakan semangat nasionalisme, mempromosikan kebijakan pemerintah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh PNI, serta menentang pengaruh kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk.
Pada masa Demokrasi Liberal, Suluh Indonesia memiliki posisi yang strategis sebagai media penyokong partai politik besar seperti PNI. Surat kabar ini secara aktif menyebarluaskan ide-ide Soekarno tentang Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai dasar untuk membangun persatuan bangsa. Dalam setiap edisinya, Suluh Indonesia menampilkan artikel-artikel yang mendukung kebijakan pemerintah, mengkritik kelompok oposisi, dan memobilisasi masyarakat untuk mendukung agenda-agenda nasional.
Sebagai media yang pro-pemerintah, Suluh Indonesia sering mendapat dukungan, tetapi juga kritik. Pihak oposisi menuduh surat kabar ini terlalu bias dan tidak memberikan ruang bagi pandangan yang berbeda. Meskipun demikian, Suluh Indonesia tetap menjadi salah satu surat kabar yang paling berpengaruh, terutama dalam membentuk opini publik tentang isu-isu besar seperti Pemilu 1955 dan peran Indonesia dalam kancah internasional.
Pers dan Keberpihakan pada Multipartai
Masa Demokrasi Liberal ditandai oleh sistem multipartai yang sangat kompleks. Terdapat lebih dari 30 partai politik yang bersaing dalam memperebutkan kekuasaan, sehingga pers menjadi alat strategis untuk memperluas basis dukungan. Surat kabar pada masa itu cenderung memihak kepada partai-partai tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terlihat dari pola pemberitaan yang bias terhadap kepentingan politik tertentu.
Sebagai contoh, Harian Rakjat secara terang-terangan mendukung PKI, sementara surat kabar lain seperti Abadi menjadi corong Partai Masyumi. Keberpihakan pers terhadap partai-partai ini menciptakan lanskap media yang terfragmentasi, di mana setiap kelompok politik memiliki media sendiri untuk menyuarakan agendanya. Situasi ini mencerminkan polarisasi politik yang mendalam, tetapi sekaligus memperkaya diskursus publik karena masyarakat dapat mengakses berbagai sudut pandang.
Namun, keberpihakan pers juga menimbulkan tantangan. Ketergantungan media pada partai politik membuat kebebasan pers menjadi terbatas. Pers sering kali menjadi alat propaganda, dan kebebasan jurnalistik terkadang dikorbankan demi kepentingan ideologi atau kelompok tertentu.
Peran Pers dalam Pemilu 1955