Lihat ke Halaman Asli

Lutfi Dwi Prasetyo

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Kurikulum Merdeka, Sebuah Terobosan atau Batu Loncatan?

Diperbarui: 30 Mei 2024   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak diperkenalkan pada tahun 2022, Kurikulum Merdeka telah menuai berbagai tanggapan dari kalangan pendidik, orang tua, hingga para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah kurikulum yang mengedepankan konsep pembelajaran yang lebih terpusat pada siswa dan mengurangi aspek penilaian dengan menghapuskan Ujian Nasional, Kurikulum Merdeka dinilai membawa angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Namun, di sisi lain, keefektifannya masih menjadi perdebatan hangat.

Salah satu aspek positif yang diunggulkan Kurikulum Merdeka adalah memberikan kebebasan kepada guru untuk mengembangkan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di kelasnya. Guru tidak lagi terpaku pada kurikulum yang kaku dan membatasi kreativitas dalam mengajar. Dengan demikian, proses belajar-mengajar diharapkan menjadi lebih menarik, interaktif, dan disesuaikan dengan minat serta bakat masing-masing siswa.

Selain itu, penghapusan Ujian Nasional dianggap sebagai langkah positif untuk mengurangi tekanan dan stres pada siswa. Siswa tidak lagi harus berfokus pada pencapaian nilai semata, melainkan dapat mengembangkan potensi diri secara lebih menyeluruh. Penilaian dilakukan secara holistik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Namun, di balik sejumlah kelebihan tersebut, masih terdapat kekhawatiran mengenai keefektifan implementasi Kurikulum Merdeka. Salah satu isu yang kerap disorot adalah kesiapan guru dan fasilitas pendidikan di daerah-daerah terpencil. Banyak guru yang merasa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan pendekatan baru ini, terutama dalam hal merancang dan melaksanakan pembelajaran yang inovatif dan kontekstual.

Selain itu, terdapat keraguan mengenai objektivitas penilaian jika sepenuhnya diserahkan kepada guru. Meskipun penilaian holistik dianggap lebih adil, namun tetap diperlukan adanya standar dan mekanisme penilaian yang jelas untuk menjamin kualitas dan kesetaraan pendidikan di seluruh Indonesia.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, pada akhirnya keberhasilan Kurikulum Merdeka akan sangat bergantung pada komitmen dan sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam mengimplementasikannya. Pemerintah harus terus meningkatkan kualitas pelatihan dan pendampingan bagi guru, serta memastikan ketersediaan fasilitas pendidikan yang memadai. Orang tua juga perlu terlibat aktif dalam mendukung proses belajar anak-anak mereka di rumah.

Kurikulum Merdeka merupakan sebuah langkah maju dalam mereformasi sistem pendidikan Indonesia. Namun, keefektifannya akan bergantung pada kemauan semua pihak untuk terus menyempurnakan dan mengoptimalkan implementasinya demi menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline