Benar, belum lama saya tengah jatuh hati pada seorang laki-laki yang baru-baru ini saya ketahui berbeda agamanya. Saya hanya jatuh hati, tidak tau mas nya bagaimana, tapi sepertinya si tidak. Ah, tersakiti kan. Tapi ya sudah lah, apa daya, saya tak memiliki kuasa membuat nya jatuh hati pula pada saya, meski segala usaha yang memungkinkan sudah saya usahakan; dan saya sedang tidak ingin membahas luka pribadi, tak akan ada habisnya nanti. Bhak!
Puncak dari luka sebab tidak diinginkan oleh orang yang saya inginkan, jatuh ketika saya tau kita memiliki agama yang berbeda. Kesedihan yang dalam tiba-tiba hadir begitu saja, remuk, tak hanya perasaan tapi juga logika dan jiwa. Saya merasa dikhianati, oleh semua yang mungkin saya salahkan.
Begini, saya, mas-nya dan kita semua yang merasa manusia lahir dengan keadaan sama. Kita adalah bayi tanpa dosa, tanpa suatu yang membedakan. Kita tak lahir bersama agama tertuliskan di kening bukan? Tapi kenapa memilih hidup bersama orang yang berbeda agama adalah sebuah larangan, terutama untuk agama saya.
Tanpa ragu KH. Abdurrahman Wahid pernah berkata bahwa tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yg baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu. Jika masih ia hidup, saya akan bertanya, apa beliau mengijinkan jika anaknya ingin menikahi seorang yang berbeda agamanya, jika memang kebaikan melampaui batas agama.
Saya juga semakin membenci simbol-simbol. Kenapa manusia mesti dilihat dengan simbol-simbol yang menyertainya, tidak bisakah kita sebagai manusia dilihat sebagai manusia seutuhnya saja? Terlepas dari simbol-simbol yang seringkali menimbulkan judgement? Hey, tidak semua palu arit berarti PKI, tidak semua hitam-hitam bermakna anarko, tidak semua yang memakai travel pouch Consina ialah seorang anak gunung, dan masih banyak penyimbolan lainnya. Bahkan, saya juga membenci kerudung yang saya gunakan, jika ujung-ujungnya itu menjadi penyimbolan bahwa saya seorang Islam (yang tidak syar'i).
Jujur saja, kebencian atas simbol yang berujung pada pembedaan manusia ini bermula dari mas-nya. Ya bagaimana tidak, saya mengiranya ia seagama dengan saya, hingga saya membiarkan hati saya jatuh begitu saja. Eh, ternyata berbeda, terpukul luar biasa. Saya menyayangi mas-nya dengan melihatnya sebagai manusia tanpa label apa pun. Tapi mas-nya melihat saya beserta simbol yang saya kenakan, kerudung! Curang sekali kan, coba dari awal mas-nya menggunakan kalung salib, atau memajang foto Bunda Maria pada layar handphone-nya, kan saya bisa lebih berhati-hati menjaga hati.
Tak bosan-bosan saya menyanyikan lagu Marcell Siahaan, "Tuhan memang satu, kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi iman kita yang berbeda". Sungguh lagu itu saya sekali, saat itu saya sedang kasmaran, mohon mengerti lah.
Saya juga berkali-kali menanya Tuhan pada akhir pertemuan-pertemuan yang seringkali saya tunda. Jika manusia dilahirkan sama kenapa harus ada perbedaan, kenapa harus dikotakkan dengan agama, kenapa tidak dibolehkan bersama, bahkan saya sampai bertanya kenapa Tuhan, kenapa Dia membiarkan saya jatuh hati pada laki-laki yang tak boleh saya bersamai hingga nanti. Tuhan tak pernah menjawab bagitu saja apa yang saya tanyakan, maka pertanyaan-pertanyaan itu menguap di udara dan saya terus menanyakan dengan emosi sebab enggan menerima keadaan.
Setiap saya menyelesaikan sesi dengan Tuhan, saya mendapat kemantapan, bahwa kasih melampaui itu semua, ia murni dan tulus. Jika memang agama tidak memperbolehkan, saya akan menyayangi melewati batas agama, mas-nya akan tetap menjadi kakak yang bebas saya sayangi. Ialah sebentuk mengalah pada realitas yang tak mampu saya pahami.
Berjalannya waktu, saya sempat ingat percakapan dengan teman yang enggan melaksanakan ritual tapi mengaku beragama Islam.