Lihat ke Halaman Asli

Novel | Sahabatku, Syafa'atku Kelak

Diperbarui: 17 Februari 2020   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

    Pagi nan cerah di hari Ahad, sebutan hari umat islam. Pagi dengan sejuta kisah yang mampu menguraikan sejumlah solusi. Pagi dengan udara segar yang mampu membuat tenangnya alam fikiran. Pagi dengan sinarnya yang mampu membuat hangatnya keadaan.

    Pagi dengan indahnya pemandangan yang membuat sejuta partikel berkeliaran. Tepatnya, partikel-partikel aerosol tersebar yang nampak jelas dalam pancaran sinar matahari pada ventilasi kamarku. Aku duduk menatap indahnya suasana sambil mendengar merdunya suara lembut yang membuat hatiku terenyuh akan lantunan ayat suci Al-Qur'an.

   Terdengar dari dalam kamarku decitan sandal yang bergesek dengan lantai, lalu bergerak menghampiri, sambil membawa sari-sari gandum yang nampak pada roti kesukaanku. Dia duduk dan memberikan kepingan roti bersamaan dengan secangkir susu putih yang masih hangat.

    Wajahnya yang selalu ceria membuat aku semakin bersyukur akan kehadirannya. Dengan halusnya ia berkata "Nak, Umi bawakan makanan dan susu ini untukmu, ayo makan."  "Baiklah, Umi akan ku makan." Kataku.

   Ya dia adalah Umiku. Aku sangat bersyukur akan kehadirannya menemaniku, ia selalu menasehati dan mengingatkanku akan suatu hal.

   Lima menit berlalu, setelah selesai aku makan, aku menunduk dengan raut wajah yang tidak bisa ku sembunyikan membuat umiku terus menanyakan. Kakiku yang terusku hentakkan ke lantai membuat Umi meliukkan kepalanya dihadapan wajahku. Aku tersipu malu dan membuat wajahku memerah. Aku tersenyum dihadapan Umi dan Umi berkata sambil mengerutkan dahinya "What's wrong honey?" Umiku memang sering menyebutku "honey", entahlah, mungkin karena aku sebagai MARIE si TUNGGAL.

    Dengan hembusan nafas panjang membuat tulang-tulang bagian apendikular selikatku naik bersamaan. Mata yang kupejamkan, senyuman yang kuberikan membuat aku lebih fresh untuk bercerita. Kami duduk di kumpulan kapas yang empuk dengan posisi berhadapan sambil memeluk bantal. Aku mulai bercerita setelah aba-aba telah datang, yaitu dalam hitungan 1, 2, dan 3, itulah pertanda cerita dimulai.

   Umi dan aku selalu saja melakukan hal yang konon katanya sangat jarang dimiliki oleh ibu dan anaknya. Mulai dari hal-hal sepele, seperti memulai cerita setelah aba-aba dimulai, lalu Umi yang selalu mengantarkan makanan tiap pagi.

    Bahkan, hingga hal-hal besar, seperti boleh mencuci baju asalkan pekerjaan rumah telah usai, karena peraturan di rumah kami siapapun yang mencuci baju duluan setelah semua pekerjaan di rumah telah selesai, akan diberi hadiah yang selalu unik oleh Buya kami. Ya, Buya sebutan ayah pada umunya, karena Buyaku seorang ulama sekaligus imam yang sering beredar berbagi ilumnya di negeri lain.

     Aku bercerita tentang sahabat sholehahku, segala keluh kesah, kisah sahabatku itu. Aku sangat berharap Umi dapat memberiku solusi. Setelah lamanya kami mengobrol, kemudian aku menyandarkan kepalaku pada pangkuan Umi. Umi menanggapi ceritaku sambil mengusap lapisan hitam yang lembut, panjang, nan terbuat dari kain sutera dibagian kepalaku.

     Ya, jilbab panjang yang ku pakai. Dengan sabarnya Umi menasehatiku. Ia memberikan potongan kata yang mampu membuatku berfikir lebih bahwa sahabat dan teman akan memberikan dampak padaku. Apakah teman dapat membawa kepada hal kebaikan atau sebaliknya justru membawa ke dalam jalan kesesatan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline