Lihat ke Halaman Asli

Lusy Mariana Pasaribu

Ada beberapa hal yang dapat tersampaikan tentang apa yang dirasa dan dipikirkan

Intermezzo, Merelakan dari Ketidakrelaan, dan Untuk Apa Biru Karena Rindu

Diperbarui: 29 Juli 2024   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@kulturtava

Hanya persinggahan dan intermezzo, bullshit. Membuat muak, menjadi satu hanya peribahasa. Seolah mengajak memori tak akan pernah pudar, kenapa harus bergentayangan di dalam saraf-saraf otak. Harus bisa mengatasi intermezzo yang menjadi pengganggu. Sbab kamu hanya sepotong ingatan yang tidak akan berarti apa-apa.

Seperti ada bom yang meledak dalam diri. Ada yang hilang, kesejahteraan mental yang terkikis. Pernah direbahkan oleh cinta, melebur semesta dengan hasrat dan hujan deras yang membasah bumi. Untuk apa biru karena rindu, rindu sendirian barangkali.

Ada kebodohan ada kebahagiaan. Apa artinya ini? Seperti kesenjangan pada disabilitas. 

Berulang-ulang selama ini berkhianat pada harap. Untuk apa sebenarnya hidup? Untuk siapa sebenarnya menangis? Harus diupayakan dan memiliki kesadaran: merelakan dari ketidakrelaan, untuk menjadi pantas atas ketidakpantasan yang sudah bosan untuk dilakukan. 

Dan ketahuilah, sudah berusaha untuk tidak lagi terjebak ketika dosa itu merayu. Harus bisa dan terbiasa. Karena tak mau ada irama kesedihan yang tak berujung. Tidak ingin berakhir sebagai daun jatuh. Pernah mabuk oleh anggur manis, pernah mabuk oleh kekasih. Entah kekasih yang seperti apa, kekasih yang pernah benar-benar ada atau sama sekali hanya ilusi.

Pernah mengatakan tidak ada ruang untuk cinta yang lain. Sudah pernah menuliskan, asing tanpamu bila tidak ada lagi cinta. Yang ada, hanya menumbuhkan onak duri. Pertanyaan maukah kau jadi kekasihku, itu jadi pertanyaan yang menjijikan. Karena tidak ada kebenaran yang benar-benar tulus dari itu.

Tidak harus tahu dan mencari tahu tentang hal yang tidak perlu tahu. Sebuah cara melupa harus dilakukan dan diupayakan. Harus memiliki kesadaran. Lagi, untuk apa biru karena rindu. Belajar untuk menerima. Karena pada akhirnya bersama tidak harus sama. Tidak mau mencuri yang bukan menjadi bagian diri.

Karena ada yang datang, dan ada yang pergi. Rasanya sakit dan amat sakit ketika tertolak dan ditolak. Sengaja dilupakan. Ah, entahlah. Walaupun hanya intermezzo yang pernah ada, harus belajar merelakan dari ketidakrelaan dan pada suatu hari tidak lagi biru karena rindu.

***

Rantauprapat, 26 Juli 2024

Lusy Mariana Pasaribu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline