Lihat ke Halaman Asli

Lusy Mariana Pasaribu

Ada beberapa hal yang dapat tersampaikan tentang apa yang dirasa dan dipikirkan

Balada Disabilitas dan Perempuan Itu

Diperbarui: 23 Januari 2023   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@kulturtava

Adakah seorang ibu yang menyuruh anak perempuannya mati, minum racun? Ternyata ada. Bahkan ibu itu pernah membunuh anaknya, memasukkan kepala ke dalam bak mandi.

Ia, ibu yang tidak pernah menghidupi diri sebagai ibu. Tak pernah memikirkan kesejahteraan anaknya. Trauma psikis. Auto imun. Disabilitas. Anak perempuan ibu itu bukan anak-anak lagi, tapi anak itu gagal bertumbuh.

Anak perempuan itu tidak mampu untuk berdiri sekalipun, bukan hanya disabilitas fisik namun tlah disabilitas psikis. Karena ulah ibu yang tlah melahirkannya. Kalau toh pada akhirnya ia harus mati dengan racun dan itu atas perintah ibunya, untuk apa anak perempuan itu ada dan dilahirkan. Sesungguhnya telah lama mati dan terbunuh, menjadi mayat tanpa bau.

Hari lepas hari, hanya menjadi pengemis yang mengharapkan kasih tulus. Tak pernah ada selama bernyawa, hanya mengumpat dan memberontak seorang diri. Balada disabilitas, tak mampu walaupun ingin lepas dan terbebas. Korban pembunuhan yang tragis.

Anak perempuan itu ingin mengakhiri hidup dan melakukan perintah ibunya, tapi ke mana mencari racun, berjalan pun tak mampu. Malang. Andai kematian anak perempuan itu menjadi, ibu yang melahirkannya pun tidak akan pernah menyesal, ucapannya adalah kalau mati ya ditanam.

Hanya menertawakan diri sendiri, senyum sinis, air mata yang ingin ditumpahkan pun tak berkoordinasi dengan baik. Kali ini, air mata tak menjadi teman yang sejalan. Rentang dua hari berturut-turut, per hari kedua puluh dua, tidak bisa terbaca entah sampai kapan, hanya rasa trauma yang tercipta. Dusta dan kepura-puraan. Ibunya lebih baik dan bangga, ketika berhasil memberikan mutiara kepada bab* ketimbang kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu tidak berhak mempersalahkan siapa-siapa atas disabilitas dan trauma psikis yang melekat. Entah seperti apa menjalani sisa hari ini, persetan dengan cinta, persetan dengan keterbatasan. Anak perempuan itu kalah dan ada dalam waktu kebodohan. Basah oleh hujan, menikmati hasrat liar yang bukan haknya.

Dengan kerelaan, memberikan dosa yang dahsyat menjamah dan terpuaskan atas dirinya. Anak perempuan itu berpikir, setidaknya satu atau dua jam, sengaja melupa atas rasa sakit yang sedang merajai. Dan terbukti benar, haha. Namun, anak perempuan itu tetaplah anak perempuan yang gagal bertumbuh. Ada penyesalan yang tidak termaafkan. Layu oleh angin timur. Pion yang penuh elegi, pohon anggur yang tidak riap tumbuhnya. Seperti penjepit pakaian yang tua dan usang dan tidak terpakai, tak dibutuhkan lagi.

Hu, menyakitkan. Ini balada disabilitas dari anak perempuan itu. Penuh sesak dan huruf-huruf mati yang tidak bermakna. Biarlah kuat dan mampu menjalani realita hidup, ketika akan terbunuh di masa selanjutnya. Barangkali ibunya akan meminta ulang.

***
Rantauprapat, 23 Januari 2023
Lusy Mariana Pasaribu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline