Dengan diam-diam kembali menyerahkan diri pada jerat kematian, berkompromi dengan kesalahan, seperti seseorang yang kalah dari pertempuran. Nyaman dengan orang yang tidak seharusnya, hanya untuk menenteramkan hati, malah merasa tertekan dan mengumpat dalam hati dengan orang yang yang memberi kasih sayang.
Jalan berliku telah dipilih.
Waktu senggang menguasai diri. Lemah saat dosa itu merayu lagi. Ini menjadi cerita yang berantakan. Dangerous. Kembali berada di tempat yang paling sunyi. Tak lagi peduli dengan tanggung jawab pun kepercayaan, hanya ego yang melekat. Menjadi kriminal yang ganas, sebab tak mendapatkan kewaspadaan.
Sampai kapan seperti itu?
Gagal dan kalah. Tidak menghidupi nilai-nilai yang sudah diketahui. Gagal pula memanusiakan dan dimanusiakan. Maaf, beribu bahkan berlaksa kata yang telah diucapkan, namun kata maaf hanya berujung dan bergema di tempat yang paling menyedihkan, di lorong kegelapan. Hidup begitu hampa, sesaat saja penuh kehangatan.
Ini menyakitkan.
Hidup bukan lagi hidup. Biarkan diri kosong. Ketakutan akan kesepian. Menjadi abu-abu. Terlalu banyak kegilaan, kepura-puraan. Ada banyak rasa bersalah, banyak persembunyian, ketakutan menghantui. Seperti telah ditelanjangi. Berada di tempat yang paling sunyi telah buat diri menjadi asing. Ternyata cerita yang berantakan ini begitu rumit.
Kesendirian yang memberi penyesalan dan dilema antara akal, hati dan hasrat. Merasa paling malang dan tersakiti, ternyata oh ternyata paling liar dan tidak terkendali. Tidak menghargai.
***
Rantauprapat, 29 Juli 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H