Sepi, itu mungkin yang akan terjadi. Itu hanya kemungkinan, bisa menjadi bisa juga tidak. Karena sebenarnya masih ada dia yang lain dalam seluruhnya saya.
Dia pernah banjir kata-kata, menggoreng huruf-huruf yang menggoda. Mengusik dan hiruk pikuk di kepala saya, perlahan dibutakan dalam rasa, dibutakan kenyamanan. Perihal mengeja perasaan, saya gagal dalam seketika. Ketahanan diri saya ambruk.
Jatuh.
Gersang.
Bodoh.
Ah, sulit tidak merasakan getaran saat dia memberi sentuhan demi sentuhan. Dia unstoppable bicara tentang mendengarkan, tentang penerimaan. Awalnya begitu, mungkin itu marketing pemasaran untuk saya.
Terbukti dia hanya tamu, memiliki daya pikat tapi tidak untuk rasa teduh. Dia hanya menikmati bukan untuk dinikmati. Konyol, terlalu gampang, akhirnya menjadi gamang. Yang bersalah dalam hal ini, tentu saja saya. Bagaimana pun, yang mengizinkan dia menjamah dan memiliki akses perihal saya, ya saya sendiri.
Dia tidak seindah harapan yang saya pilih. Berlalu tanpa kata, menyimpan cerita duka. Ada jejak yang dia tinggalkan. Inilah fakta tentang proses saya yang disebabkan oleh dia. Dia bukan lagi selayaknya oase yang menyejukkan. Saya tidak lagi boleh bersimpuh di bawah pohon cinta karena dia.
Dia bukan lagi hasrat yang menjadi inginnya saya. Dan, jika tanpa dia maka saya akan bisa baik-baik saja. Harus bisa!
***
Rantauprapat, 19 Februari 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H