Tak pernah menjual sesuatu yang salah. Pria dewasa itu tega melukai kepercayaan perempuan itu. Bukankah tidak benar, melakukan diskriminasi di balik kata terima kasih. Sejarah yang dahulu kembali terulang pagi tadi. Sketsa yang suram lalu lalang di benak perempuan itu. Yang ada hanya ketakutan. Sentuhan itu menjijikkan.
Usapan tangan pria dewasa itu seperti sengatan listrik yang mematikan. Ada ketidakpantasan yang ia alami. Dari pria itu, perempuan itu menerima kebencian.
Di manakah hati nurani?
Bibir perempuan itu mengumpat dan mengucap sumpah serapah. Bibir yang entah sengaja atau tidak, telah dijatuhi noda. Ia benci keterbatasannya. Bercinta saat ia tak ingin melakukan. Perempuan itu berpikir, apakah ia seperti perempuan murahan. Mudah bagi pria dewasa memberikan sentuhan, andai itu dari pria dewasa yang bukan siapa-siapa. Lah ini, pria dewasa itu adalah pria yang harusnya menjaga perempuan itu.
Dan lagi, perempuan itu menyalahkan diri sendiri. Berjalan dalam kegelapan. Menjadikan hari seperti burung yang terperangkap dalam jerat yang menghancurkan. Mempertanyakan tentang identitas diri, tentang hubungan darah.
Dengan alasan yang pasti, perempuan itu telah kalah dan hujan dengan suka rela menyapa. Hidup yang penuh misteri menyatakan kekejaman hari ini pada perempuan itu. Ah, sungguh malang bukan.
***
Rantauprapat, 24 Agustus 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H