Bukankah hidup memang seperti itu. Penuh duka luka. Penuh kemalangan. Namun, saat gandum yang menaungi lorong hidup tak mampu memberikan keberterimaan. Maka labirin kehampaan akan menjadi bagian yang menduduki jiwa dan pikiran dengan dahsyat.
Ya, aku sedang menyasiksan sendiri bahwa ada seseorang yang mengalami hal seperti itu. Ada perempuan dewasa yang tidak seperti perempuan dewasa lainnya. Perempuan itu adalah perempuan yang melahirkan tangisan di detak air hidup yang dijalani. Kata Lo Ruhama di Mesopotamia semestanya, nyata tersorot di raut wajahnya. Terlebih saat dia butuh dimengerti akan keterbatasan yang melekat dalam dirinya.
Dia perempuan yang merasakan disabilitas fisik, walau tidak sepenuhnya nyata. Menimang ketidakberterimaan dari ketidakpastian yang sempurna, dari ketidakadilan hidup. Dia membiarkan dirinya terhempas karena tidak berhasil menghambarkan diri dari keinginan-keinginan yang keliru. Malah bermain-main dengan kemalangan, menjadi seseorang yang mengisi waktu luangnya pada hasrat yang berbahaya.
Perempuan itu membuat bumi gelap pada hari cerah dan seperti Burung yang terperangkap dalam jerat. Bodoh dan tidak mengerti batasan. Bukan menjadi perempuan dewasa yang bertumbuh tapi menjadi perempuan yang berselimut hamparan semu belaka. Bersimpuh dalam keegoisan. Meniduri sepi dan merayakan hening yang teramat panjang.
Dan, bum! Lagi-lagi perempuan itu kalah saat aroma jelaga dan dosa itu merayu. Mengering dan layu pada bisikan demi bisikan yang sebenarnya belum tentu berujung pada kepastian. Dia berjalan dalam kegelapan karena mudah tergiur terhadap kekhawatiran yang berlebih. Dia perempuan yang tidak tenang teduh saat keyakinan hatinya lebih berpusat di zona yang salah, seperti zona dingin yang erotis. Entah berapa lama lagi, perempuan itu mengheningkan cipta terhadap self-awareness.
Mengapa sulit mengapresiasi diri. Perempuan itu seperti burung yang terperangkap dalam jerat. Dia berduka pada sesuatu yang sebenarnya bukan duka. Terlalu takut terhadap banyak hal. Sering bahkan teramat sering berkata : Rest In Peace, my life. Banyak yang ingin hidup tapi dengan angkuh malah ingin mati dan membusuk seolah jiwa yang ada dalam diri perempuan itu dia yang punya.
Apakah setelah melihat dan merasakan kemarahan Tuhan yang menyayat hati, baru perempuan itu sadar? Harusnya perempuan itu memaksa diri sendiri berbalik dari hujan yang menyapa. Bukan membinasakan diri dengan mengidap sindrom pembiaran apa lagi menyapa air hujan yang penuh nestapa yang berujung pada penyesalan yang tak termaafkaan.
Hu, sungguh aku berharap bahwa perempuan itu dapat berdampingan dengan kemalangan dan memiliki energi penerimaan, sehingga dia tidak lagi seperti Burung yang terperangkap dalam jerat.
***
Rantauprapat, 17 Juli 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H