Mau melakukan apa lagi, jika kebersamaan pun keberterimaan tak lagi kembali. Hanya bisa pasrah walau sebenarnya ingin memberontak. Terdiam membisu, bersama air mata yang berlinang. Aku tidak lagi menjadi selalumu, kamu pun mau tak mau tidak lagi menjadi selaluku. Aku, kamu gagal menjadi yang pernah terpikirkan.
Ada kejahatan hatiku terhadapmu, ada umpatan keji yang terlepas dariku untukmu. Aku tahu itu keliru, tapi aku tak bisa menahan diri dari kesukaran yang kamu timbulkan. Apakah aku/kamu hanya sebatas pernah saling cinta? Saling menaungi? Namun luka hati ini sulit untuk disembuhkan. Buatku rapuh dan jatuh pada dosa yang merayu.
Ya. Jika kebersamaan pun keberterimaan tak lagi kembali. Tak lagi ada saatnya untuk kita. Semua hanya omong kosong. Hanya dusta.
Kepergiaan keberterimaan darimu, buatku fasih dengan duka luka. Buatku bertemu dengan kemalangan. Karena harapan yang kubangun terhadapmu terlampau besar. Aku mengeluh dan berkata: kenapa aku memberikan kepercayaan terhadapmu! Meletakkan kebahagiaanku padamu.. Kita tak lagi mampu berjalan beriringgan, walau aku ingin terus bersama.
Sejak ada jurang yang tak terseberangi di antara kita, aku ingin melupakanmu. Namun, hingga saat ini, aku belum mampu melakukan hal itu. Kamu adalah relasi yang terjalin pada musim hidupku dengan sangat intim. Payah memang. Ah, mungkin aku bersimpuh di dalam hamparan semu belaka. Bertahan dalam harap yang seharusnya tidak kulakukan.
Aku lelah.
Aku ingin berhenti.
Pada kenyataannya, mengeluhkan ketidakadilan ini tetaplah hanya kesia-siaan. Aku menjadi penipu, berbohong pada diriku sendiri, mengatakan bahwa aku baik-baik saja, padahal tidak sama sekali. Aku salah, harapanku kembali patah. Hilang dalam kesepian.
Hu. Jika kebersamaan pun keberterimaan tak lagi kembali. Jika aku, kamu gagal menjadi yang pernah terpikirkan. Hal itu sangat berbahaya. Ini bukan tentang beromantika semata. Ini tentang ketidaktahuan akan disabilitas nurani dari disabilitas fisik yang melekat dalam diri. Buatku sepi, sendiri, terasing. Aku lenyap dari ketidaksempurnaan yang nyata. Tak utuh.
***
Rantauprapat, Maret 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H