Lagi. Perempuan itu merasa sedih dan gentar. Rasa nyaman sepertinya tak lagi berteduh di bawah pohon keyakinan. Lalu, perempuan itu pergi bersama penyesalan. Kebingungan dan gelisah.
Perempuan itu mempersilahkan gelombang yang membuat jeda ada di antara hati. Mempersalahkan diri dan mempertanyakan. Seperti gelembung dan kupu-kupu yang hilang arah. Perempuan itu dalam kebingungan, tak tahu arah mana yang harus dituju.
Melumat kesepian. Perempuan itu ingin menepi dan memilih sunyi menjadi teman. Ia tak mampu bersuara. Merasa hanya menjalani hidup dengan memberi beban.
Ya, sepertinya tidak ada cinta hari ini. Apakah perempuan itu hanya bersimpuh di dalam hamparan semu? Entahlah. Perempuan itu kalah. Sebuah cara melupa ingin dilakukan oleh perempuan itu. Agar ia tidak berada di entah. Agar mendung tak bertahan lama dalam mata perempuan itu.
Perempuan itu menyerah. Bertahan dalam keegoisan. Jatuh pada dosa yang merayu. Dosa yang menghakimi diri sendiri. Hari ini, perempuan itu merasa sedih dan gentar. Hari ini kembali perempuan itu pada hujan. Hujan ratapan yang seharusnya tidak dirasakan.
Seharusnya, perempuan itu tidak jatuh pada kesia-siaan karena ketidakberterimaan. Namun seringkali ia kalah. Hari ini, perempuan itu sedang patah hati. Bagaimana dengan besok? Tak ada yang bisa mengetahui, bahkan perempuan itu sendiri.
Lalu, siapakah sebenarnya perempuan itu? Apakah aku? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
***
Rantauprapat, 17 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H