Entah pada siapa, aku menyampaikan ketidaksejahteraanku. Tak ada yang bisa kupercaya, bahkan pada gandum yang ada di hati. Yang ada pedih, perih.
Tuhan, Engkau yang Maha Sempurna. Engkau tahu kegelisahanku. Aku ketakutan, kuyakin bahwa Engkau tahu. Ingin rasanya menerima jawaban, kenapa harus aku yang seperti ini. Kenapa harus aku yang berbeda. Lagi-lagi, aku pun tahu tidak setiap pertanyaan ada jawabannya.
Aku tersisih. Ada kesenjangan yang payah merumitkan diri. Aku tak ingin terus seperti ini, tapi sungguh aku tak berdaya. Kali ini, kubiarkan kemalangan menduduki jiwa dan pikiranku. Membiarkan diriku seperti berada di entah.
Maaf, aku ketakutan. Ada yang salah dalam diri. Sulit, seperti gelembung dan kupu-kupu saat ini. Hilang arah. Aku tahu aku tak bisa. Aku juga sudah berusaha menghidupi penerimaan. Tapi penerimaan itu yang tidak ada padaku.
Hari ini, aku gagal untuk mengakhiri patah hati. Aku hidup tapi sebenarnya tak hidup. Aku sehat tapi sebenarnya telah lama aku sekarat. Aku ingin membatu, tak mendengar dan tak melihat segala disabilitas yang memberi ratapan. Dan, aku ketakutan. Aku khawatir. Aku tahu dengan pasti, kekhawatiran tidak menambah sehasta apa pun dalam hidup. Tapi, saat ini, aku tak bisa menahan diri atas air mata ini.
Tadinya, kukira, Januari 2021 adalah sesuatu yang mampu membuatku berpaling dari kemalangan. Ternyata, itu hanya perkiraan belaka. Saat, penerimaan hanya menjadi sebuah wacana, itu hanya memberi ketakutan. Tanpa terkontrol, pikiranku bersimpangan dengan teduh.
Sudah berpuluh tahun, aku ketakutan. Entah ada yang benar-benar memberikan penerimaan dengan benar, entah tidak. Entahlah. Aku sudah terlalu lama berada dalam pelarian. Tahukah rasanya jadi aku?
Ah, tidak usah tahu dan jangan sampai merasakan rasa seperti aku.
Ah, ini kisah pilu. Ya, ini tentang perempuan yang memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Namun, aku tahu, jika aku masih hidup saat aku ingin mati sekali pun, itu bukan hasil usahaku.
Ah sudahlah, selama aku masih bernafas, aku harus berusaha untuk baik-baik saja. Setidaknya sampai masa hidupku usai. Walau sebenarnya itu sulit. Seharusnya, aku ingat dan tak boleh lupa. Di saat kutak berdaya, di saat aku ketakutan. Masih ada Tuhan. Dan apa yang mustahil bagiku, itu sangat mungkin bagi-Nya.
***
Rantauprapat, 11 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H