Malam ini, baru saja satu malam melewati malam pergantian tahun, malam yang penuh perpisahan, ternyata bukan hanya tentang malam yang penuh perpisahan, ada pula hati yang berpisah. Hidup seakan tergadai pada kesombongan yang tak tertunduk, dengan mudahnya hati pun berbuat jahat dan menjadi pelaku sebuah kedzoliman.
Tak ada kerelaan hati untuk memahami. Hanya yang menggelisahkan hati tercipta. Membuang segala pengertian, meringkuk dalam resah yang liar. Tahun 2021 di hari Sabtu yang pertama, penuh dengan taburan kisah yang penuh sedu sedan. Lalu sepi yang berjatuhan membasahi hati.
Kenapa sibuk mencari damai, sementara dalam hati yang ada hanya kepura-puraan. Kesepian ini pun menular dan tertransfer pada yang lain. Terompet sunyi di tahun baru benar-benar menjadi terompet sunyi sepi dan memiliki kenangan awal tahun ini.
Binar-binar bahagia yang turun di awal tahun malam pertama seakan sirna dan meredup. Malangnya, ini hanya karena ego yang tak terkendali. Kesombongan pun menjadi liar dan tak terkendali. Dosa itu akhirnya merayu lagi.
Lalu sepi meniduri kesepiannya.
Kegaduhan seolah tak pernah diam. Malam ini, sepasang kaki melangkah ke luar di tengah malam membawa sepasang kaki mungil di dalam pangkuan untuk menjauh dari sebuah suara yang seolah menenggelamkan pada lara, yang mungkin sebenarnya tidak begitu.
Ke mana mencari pembenaran?
Di hati yang ego, atau di kesadaran yang kehilangan. Kehilangan kesadaran dan hati nurani. Benar, yang dibutuhkan hanyalah menahan diri. Kalau bukan untuk dirimu, setidaknya untuk si pemilik kaki mungil itu.
Bukankah hidup tidak hanya mengenai paripurnanya rasa bahagia namun adanya penerimaan saat ketidakselasaran muncul. Adakah estetik dari mempertahankan ego? Entah, sulit untuk menerjemahkan itu mungkin. Lalu apa, lalu sepilah yang membunuh.
***
Rantauprapat, 02 Desember 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H