Lihat ke Halaman Asli

Tuhan, Aku, dan Hujan Air Mata Ibuku

Diperbarui: 16 November 2020   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: jnanacrafts.com

Atas izin Tuhan, beberapa puluh tahun lalu aku ada dalam rahim seorang perempuan. Dan saat perempuan itu tahu ada tujuan mulia yang sedang diterima olehnya, perempuan itu berkomitmen dengan sungguh-sungguh, untuk memberi nutrisi yang benar.

Dan atas izin-Nya pula, perempuan itu melahirkan aku di bumi tercinta Indonesia. Mulai hari itu, Tuhan titipkan aku di sana, di penjagaan seorang perempuan yang kusebut ibuku. Aku tak akan memahami apa-apa, jika tanpa ketulusan dan pemberian yang ibuku berikan. Mulai dari ASI yang kunikmati dan kasih sayang di 1000 hari periode kehidupan emas pertamaku. Ibu adalah sekolah pertamaku dalam menjalani bingkai-bingkai perjalanan hidup.

Beberapa puluh tahun lalu, aku bayi perempuan yang diberkati memiliki seorang ibu seperti ibuku. Mengajariku bicara, hingga bisa memanggilnya ibu. Melatih kaki kecilku melangkah, hingga kaki kecilku sering melukai kesabaranmu.

Denyut waktu telah berpuluh tahun berlalu, aku bukan bayi kecil ibuku lagi. Kini, aku telah tumbuh dewasa. Aku dan ibuku, sama-sama menjadi perempuan dewasa.

Namun tetap ada yang berbeda antara aku dan ibuku. Walau aku sudah menjadi perempuan dewasa, aku sering membiarkan diriku membuat gores luka dan amarah merajalela untuk hati ibuku. Hingga hujan air mata ibuku berkali-kali tumpah karena dosa yang merayu diriku. Melupakan perjuanganmu yang asuhku mulai dari aku masih menjadi bayi rapuh yang belum bisa melakukan apa-apa.

Tapi, kau tetaplah kau. Seorang ibu yang meneduhkan hati untuk anak perempuanmu. Kelancanganku tak lahirkan satupun amarah yang akan membuat nasibku malang. Kau ibuku yang memiliki penerimaan besar, tidak ada disabilitas nurani darimu. Tuhan tahu, ibu tak pernah menendangku dari perhiasan hatimu.

Hingga, pada suatu malam di bulan ketiga di tahun 2019, aku mengalami sesuatu yang buruk. Aku takut tak bisa melewati hari itu, namun ibu melahirkan keyakinan hati untuk diriku. Ibu menjatuhkan banyak hujan air mata saat itu, mohon kasih karunia Tuhan memberiku kesempatan hidup. Ibu, berperan penting saat itu. Ibu pahlawanku. Dan akhirnya aku berhasil melewati malam ini. Aku pun hidup lebih lama, hidup ini hingga saat ini.

Ibuku adalah prasasti, tempatku menerima segala pelajaran hidup yang bermakna. Aku perempuan dewasa yang payah yang harus terus bertumbuh dan belajar dari cara ibuku berjuang dalam hidup.

Dan hingga kini, saat ketidakadilan hidup sedang bercumbu dengan aku dan ibu, ibu tetap tangguh sebagai perempuan. Tidak pernah layu apa lagi mengaduk ketakutan dalam hidupnya. Hidup memang penuh teka-teki dan keras, namun di pangkuan ibu ada damai sejahtera yang terasa.

Tuhan, aku tahu aku berada di zaman yang sungguh begitu keras. Namun aku bisa menikmati bahagia bersama ibuku, karena ibuku adalah zaman yang sungguh bisa buatku terbaring dengan lelap disertai kepala penerimaan diri. Aku bisa bernapas lega melalui sosok ibuku. Tak terbantahkan lagi, aku mengagumi ibuk tanpa negosiasi.

Ibuku adalah jendelaku. Dan darimu,  aku bisa melihat dunia yang bernama kehidupan. Tuhan, terima kasih buat setiap kebaikan yang ibuku berikan. Hujan air mata yang pernah jatuh dari bola mata ibuku akan menjadi pelajaran hidup untukku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline