Lihat ke Halaman Asli

Obat Terbaik adalah Waktu

Diperbarui: 3 November 2020   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@kulturtava


Dulu tetaplah dulu. Pernah sama-sama saling menginginkan. Tertuju pada perbincangan yang diharapkan. Perbincangan mengenai kita dan cinta.

Cinta adalah satu kata yang indah, namun untuk menggapai cinta itu butuh perjuangan yang besar. Dan kita adalah kekalahan tentang itu. Dahan ranting romansa pohon cinta kita terlalu rapuh. Ada cacat dalam keyakinan kita, terlalu sering terjebak keangkuhan diri. Menjadi pemberontak dan pembangkang untuk hati kita sendiri.

Kita melenakan diri pada keegoisan. Menyeret diri kita pada perpisahan, dan itu pun dengan paksa. Terkuras pada waktu kebodohan. Kita keliru, benar-benar keliru. Menyia-nyiakan cinta yang sudah terjalin hanya untuk cinta yang masih menjadi ketidakpastian yang sempurna. Kita terhempas karena memberi ruang pada cinta yang lain. Terlalu ragu untuk berbalik arah. Terdampar dalam susunan konsonan ketidakpercayaan. Padahal sesungguhnya, kita masih memiliki gelora gairah yang senada untuk romansa pohon cinta kita.

Kini, hanya waktu yang akan menjadi obat terbaik. Melupa dan mengikhlaskan, kita yang kemarin hanya bisa menjadi kenangan. Sungguh, tak ada yang perlu disesalkan. Karena perpisahan adalah pilihan kita.

Ya, obat terbaik adalah waktu. Waktu yang harus dilalui bersama kesadaran hati. Hingga penerimaan tidak lagi menjadi keterasingan yang teramat jauh. Dan, dulu tetaplah dulu. Seperti kita yang dulu, yang tak akan bisa menjadi nyata. Hati dan logika kita tidak bisa bermusyawarah dengan baik.

***
Rantauprapat, 01 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline