Ini tentang cinta, jarak, dan penghabisan. Terperangkap dalam hamparan mimpi, aku seperti jerami yang diterbangkan badai. Sudah layu oleh angin Timur. Aku mengingkari suara hatiku, hanya demi seseorang yang membuatku nyaman.
Pernah aku jatuh terjerembab dalam romansa pohon cinta bersama seseorang. Cukup lama aku terbuai. Perlahan namun pasti, aku kedatangan aroma petrikor yang tidak biasa tentang dirinya. Aroma kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang menuruni kesadaran diri. Seseorang itu sudah dipastikan adalah cinta orang lain.
Bodohnya, aku sudah jatuh cinta pada kebohongan. Jatuh cinta pada cinta orang lain. Aku merintih dan duduk di kegelapan. Kini, aku hanya bisa mempercayai bahwa semua kata-kata yang terucap dari pria itu menjadi kata-kata yang tak bermakna. Seperti mimpi buruk yang harus kusudahi, kali ini tanpa airmata ratapan.
Aku lebih memilih sendiri dari pada bersama cinta orang lain. Tak lagi menutup diri dari jejak kebenaran, apa lagi melelehkan diri pada saujana semu yang berakhir redup. Aku berhenti menikmati romantisme dan tidak menjadi perundung pada hatiku dan hati orang lain.
Terhadap kisahku yang seperti mimpi buruk, aku berharap aku akan melupa tentang itu. Benar-benar melupa bukan hanya sengaja melupa.
Aku tak akan pernah lupa rasanya disakiti, aku pun tak akan memberi rasa sakit pada hati yang belum pernah kutahu pemiliknya dengan sengaja. Karena sepertinya ini adalah rasa cinta yang sebenarnya sama sekali tidak ada cinta yang dirasakan.
***
Rantauprapat, 01 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H