Di kehidupan yang sudah dilewati perempuan itu, dia sering tiba pada malam yang penuh kemalangan. Kedamaian pun tak tercipta di semesta yang perempuan itu miliki. Dia berjalan sendu. Duka menusuk relungnya.
Lama perempuan itu bermain hujan. Berselimut kekalahan. Pura-pura tak melihat dan menutup mata. Dia terluka dan mengubur desahannya agar tidak ada yang tahu. Tidak ada yang melihat di sekitarnya. Kecuali Tuhan yang maha sempurna.
Lautan malam pernah jadi saat ternyaman untuk perempuan itu memanen kegilaan terhadap hal-hal bodoh. Mencicipi rasa sakit yang tidak seharusnya perempuan itu cicipi. Tidak memperdulikan suara hati yang jelas dia dengar.
Pada akhirnya, perempuan itu terbangun dari lelap yang buatnya terkapar luka dan rasa malu.
Dia muak dan amat sangat lelah, menyimpan dan melakukan kepalsuan. Dia ingin dilepaskan dari jerat yang membuat dirinya terikat.
Di kesadarannya, di sisa usia yang masih dipercakan Tuhan, perempuan itu tidak mau selalu memancing buaian nikmat yang sebenarnya cacat. Dan akan menjadi penghuni kamar hampa. Membakar diri pada bencana yang penuh kesia-siaan.
Teruntuk yang maha sempurna, perempuan itu bersimpuh dan memohon untuk diberikan kesempatan mendapatkan jalan pulang. Atas segala kisah rumit perempuan itu, perempuan yang sudah melangkah terlalu jauh dari kesukaan-Mu. Ketika dia berbicara, berdoa, dan mengaku dosa pada-Mu, ya Tuhan, perempuan itu berharap Engkau mendengar dan Engkau mengampuni.
Dia sungguh berharap bisa berbalik ke rumah yang benar. Kembali menari bersama huruf-huruf kesadaran di singgasana hidupnya. Yang kesukaannya ialah kesukaan Tuhan yang maha sempurna.
Perempuan yang tidak lagi memiliki hati lemah pada hasrat yang menggoda. Tidak lagi melantur dari kebaikan-Mu.
***
Rantauprapat, 30 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H