Suatu sore, yang aku sendiri tidak ingat jam menunjukkan pukul berapa saat itu. Tapi aku ingat, itu di bulan September yang akan berakhir, September di hari yang kedua puluh lima. Aku dipeluk kesadaran. Kalau aku bukan buku yang ingin dia baca, aku bukan cerita yang dia inginkan menjadi ceritanya.
Aku tidak akan bisa menunda keberangkatannya pada apa yang dia ingin tuju. Dan aku sadar, duniaku tidak akan berakhir hanya karena dia akan menjadi asing padaku. Aku harus menerima kalau dia harus beranjak pergi dariku.
Aku tidak bisa mundur ke fase waktu yang lalu. Walau saat itu aku terluka dan rapuh, aku kehilangan dia. Bukankah, setelah berhenti dari dia. Akan ada dia-dia yang lain. Dan mungkin akan bertemu di persimpangan yang entah di mana. Aku berpikir begitu.
Aku tak mau menelusuri kronologi kehampaan, hanya karena mengalami ratapan yang tidak seharusnya kuratapi. Menangis dan membuat air mataku terkuras pada dia yang tidak memiliki kepemilikan atas hidup dan pilihan hatiku.
Suatu sore, saat aku tersadar. Aku kembali mengingat setiap percakapan demi percakapan yang pernah terjadi, dan sekarang ini sadar bahwa itu adalah percakapan yang tidak bertuan.
Kenapa harus terluka?, jika masih bisa sadar untuk tidak terluka.
Aku tak mau diseret-seret penyesalan dan terlempar jauh ke tumpukan kebodohan hati, jika tidak membiarkan dia pergi. Yang terpenting, aku harus mempertahankan tempat berteduh yang bernama "PENERIMAAN" pada nalar dan hatiku. Hingga kebahagiaan tidak bersembunyi dari hidupku.
***
Rantauprapat, 25 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H