Realita hidup sudah menyalahkan lampu kesendirian untuk dirinya. Tak akan pernah ada yang menyapa dan menunggu untuknya.
Bukan dia tak berdoa dan mendambakan. Dia juga memiliki tempat yang disebutnya pengharapan, namun yang menjadi bagian hidupnya tidak sama dengan bagian hidup dari banyak perempuan di sekitarnya.
Pernah, dia sebagai perempuan seutuhnya membenci dirinya sendiri, mengapa dia tidak bisa merasakan bahagia seperti bahagia perempuan pada umumnya. Walau demikian, perempuan itu tidak bisa protes bahkan mempersalahkan siapa pun.
Dalam pikirannya, berkecamuk banyak pertanyaan. Pertanyaan yang pasti sulit untuk dia terima jawabannya. Akhirnya. Dia tiba pada kesimpulan, bahwa koordinat tepat yang harus dia miliki adalah kesadaran hati.
Bukan berarti, kecemasan hilang seketika. Perempuan itu memilih mengatasi kecemasannya. Menyelamatkan diri dari paradigma kesendirian yang dia alami dengan terus berusaha membebaskan hatinya dari ketakutan yang sudah pernah membuat dirinya terperangkap.
Dia, perempuan yang ingin pergi ke suatu tempat yang disebut penerimaan. Karena dia tahu, hidupnya adalah penerimaan.
Perempuan itu sudah memutuskan, untuk berhenti berharap pada sesuatu yang tidak bisa dia miliki. Itu cara lain perempuan itu, mencintai dirinya sendiri.
Rantau Prapat, 15 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H